Menulis Secepat Ucapan
Menangkap
tuturan dengan tulisan. Secepat ucapan itu keluar. Stenografer
memunyai
tulisan sendiri lebih efektif.
ILHAM
WASI
MAKASSAR
Huruf yang familiar di masyarakat
saat ini adalah huruf latin. Daerah suku Bugis-Makassar, juga mengenal tradisi
tulis dengan huruf tersendiri, aksara lontara. Akan tetapi, kecepatan dalam
menangkap tuturan yang keluar dari ucapan kita, bisa di uji keefektifannya.
Seorang stenografi mempraktekkannya.
Menulis dengan sekian detik memanfaatkan tulisan singkat, dengan tarikan garis
kiri ke kanan. Huruf stenografi, miliki simbol khusus. “Cepatnya menulis, Secepat
orang berbicara,” ungkap Suriadi Mappangara, saat ditemui Minggu, 24 Agustus di
Jalan Damar.
Suriadi Mappangara inilah yang menerapkan
tulisan Stenografi ini. Metode yang kerap Ia gunakan untuk menopang setiap
aktivitas dan penelitiaan yang dilakukannya. “Stenografi ini, sudah menjadi
bagian dari diri saya,” ujar lelaki yang juga dosen Ilmu Sejarah Fakultas
Sastra Unhas ini.
Ia lalu mengambil sebuah kertas
putih dan pulpen. Tangannya menari di atas kertas itu. Kemudian bertutur pada penulis,
Stenografi menggunakan tanda-tanda khusus yang lebih singkat daripada tulisan latin.
Tulisan yang disempurnakan dengan menambah beberapa singkatan. “Sudah singkat
disingkat lagi,” bebernya
Waktu yang digunakan untuk menulis
stenograf lebih cepat dibanding waktu untuk mengucapkan kata yang dimaksud. “Orang
yang menulis huruf latin “tahu” diperlukan empat gerakan, sedangkan untuk
menulis huruf “tahu” dengan menggunakan Huruf steno hanya diperlukan satu
gerakan saja. Huruf “h” itu hanya tanda “titik”,” ujarnya meyakinkan.
Alasannya memang cukup jelas, sebab
setiap lambang atau simbol huruf steno hanya memerlukan satu gerakan saja. “Inilah
kelebihan menggunakan stenografi, kau juga mesti mempelajarinya,” imbuhnya pada
penulis.
Baginya, tulisan steno begitu penting untuk
dipelajari semua kalangan. Baik sebagai jurnalis, notulen, dan peneliti. “Sartono
Kartodirdjo, seorang sejarawan berkata Salah satu kelemahan penelitian di lapangan
lewat wawancara. Peneliti langsung menyimpulkan apa yang dikatakan narasumber.
Akan tetapi, tidak menulis semua apa yang dikatakan, dan itu bisa menjadi kesalahan
itu bisa dielakkan. Steno bisa mencatat semua apa yang dikatakan,” beber lelaki
berdarah Soppeng ini.
Stenografi yang mulai dipelajarinya sejak
lulus Sekolah Menengah Kebangsaan Raja Chulan Ipoh Perak, Malaysia. Huruf yang jumlahnya sebanyak 25 huruf mesti
dikuasai sebagai dasarnya. Makanya, untuk mengasah kemampuannya menghabiskan
waktu untuk latihan. Manfaatkan bacaan
koran dengan latihan, atau mendengarkan lagu dari kaset kemudian
menyalinnya. “Tamat Sekolah, sambil
menunggu ujian (masuk perguruaan tinggi:red), tiga bulan dengan seminggu 3 kali
belajarnya,” ujar Alumni Universitas Gadjah Mada ini.
Stenografi ala “Gregg” yang
dikembangnya. Ketika masih mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM). Saban hari,
Suriadi mendapat tugas sebagai notulen, berkat kemampuan yang digunakannya. Saat
tahun 1980, dalam sebuah seminar yang meminta menuliskan dengan cepat. “Anda
bisa stenograf,” ujar rekan yang memintanya jadi notulensi.
Saat itu, juga ditugaskan seorang
denga notulen dengan menggunakan “tape recorder”. “Saya gunakan stenografi,”
akunya. Seminar itu mesti dengan segera, keluar rekomendasi. “Empat jam
perdebatan dalam seminar,”. Kemudian, panitia meminta agar tim perumus mesti
bacakan dengan segera. “ Saat masuk ruangan pengetikan. Kami berdua, satu
andalakan tape, saya stenogrfe. Masih mendengarkan hasil rekaman itu, saya
sudah selesai mengetik. Masih diutak-atik itu tapenya. Mesti, orang itu gunakan
cacatan kecil tapi stenografi itu lebih lengkap,” kelakar lelaki yang pernah meraih
predikat lulusan terbaik di UGM ini. Hal
itu dicapai berkat stenografi, sebab setiap kata yang diungkap oleh dosen secara
cermat. Begitu juga dengan menyalin cacatan pada buku-buku perpustakaan.
Ia
pun berharap, Stenografi tetap dikembangkan dan menjadi bahan yang penting
untuk dikembangkan. Semuanya untuk menunjang kemampuan peneliti, terutama
notulen “Kalau mau serius, satu bulan bisa selesai,” ajaknya.
Stenografi
yang dikuasai telah disinkronkan dengan bahasa Indonesia. “Menulis cepat dan
jangan berhenti belajar. Dari Stengogafi Greeg, disesuaikan saat pulang ke
Indonesia,” tandas lelaki yang mencoba menulis sejarah “Arung Pallaka” dengan gaya
bercerita ini. Tak ada salahnya mengusai stenografi. (*)
Komentar
Posting Komentar