Langsung ke konten utama

*)Kerajinan Lampu Hias dari Benang

Usaha Mikro Ekspansi ke Hotel-Hotel

Jika mendapati lampu hias yang terbuat dari benang menyerupai lampion. Boleh ditengok dan dipastikan siapa tahu, lampu hias yang mengantung itu, kerajinan buah tangan Andi Baso Achmad Palingrungi

ILHAM WASI
Jl Borong Raya
Lampu hias yang beragam bentuk seperti bola, dengan ukuran yang bervariatif sangat cocok untuk penghias ruangan. Baso, mengaku kerap digunakan untuk tujuan dekorasi pesta pernikahan. “Kadang ada yang pesan untuk hotel, atau dekor khusus,” ungkapnya.
Kesan yang timbul memang bernilai seni. Jangan salah bahan yang digunakan ada dari olahan limbah. Limbah benang pukat (alat penangkap ikan), yang biasa didapatkan di pelabuhan Poetere. “Benang yang dicuci bersih, akan dihias mengikuti pola balon. Mengeras karena resing dan lem fox,” beber Baso saat ditemui dikediamannya, Jalan Borong Raya.
Di kediaman miliknya lah usaha kerajinan tangan tersebut di buat. Sejak tiga tahun lalu, ia memulai. Lantas peluang itu ditangkapnya, untuk melihat limbah karung goni atau benang jala. “Selama sepuluh tahun merantau ke Kalimatan. Pernah kerja mencari sarang burung walet. Akan tetapi, karena pernah terjadi konflik antara suku bugis dan dayak. Makanya, pulang ke Makassar. Saat di sini kerja warung makan. Lalu buka salon khusus pangkas rambut, dan akhirnya liat ada peluang kerajinan ini,” kenangnya.
Baso memang kerap memang miliki keahlian khusus, untuk mendekor. Kerap juga membuat dekorasi pengantin, dan merias, juga memasak. “Saat di Tarakan, sering kerkunjung ke Malaysia, melihat keramaian imlek yang di penuhi lampion. Akan tetapi, masih terbuat dari kertas, dari situ terinspirasi, membuatnya dari benang dan bisa tahan lama,” aku lelaki yang juga pernah jadi anggota Himpunan Ahli Rias Pengantin Indonesia ini saat di Tarakan.
Belajarnya pun mesti berkali-kali dipelajari. Apalgi membuatnya dengan balon. Hampir setiap melilit benang, balon pasti pecah karena benang “Jala”  sedikit tajam. “Yah, biasa meletus sepuluh balon. Pilih balon yang tahan lama impor, belajar dari pengalaman,” kelakarnya.
Di rumah tersebut, mengantung beberapa lampu hias. Warnanya pun beragam, ada putih akan tetapi telah dihiasi. Merah seperti buah apel, lampu hias yang manfaatkan akar kayu. Selain itu, kerajinan tangan dari segala macam bentuk dari botol bekas yang dibungkus benang karung goni, dan tabungan dengan manfaatkan limba gulungan kain. “Limbahlah, kecuali jika ada pameran biasanya beli benang khusus, agar cepat jad. Harganya pun dari 10 ribu hingga 200 ribu. Nanti bakal pameran lagi ke Bantaeng. Kemarin saat pameran di SIDE, ada yang juga order,” beber lelaki yang juga turut serta di pameran pembangunan Sulsel 2014 kemarin.  
 Baso lalu memperlihatkan proses pembuatannya. Tepatnya, di ruang tengah rumahnya. Tiga perempuan sedang bekerja. Diantaranya, Rosmiati, Nisa dan Masni. Tangan Rosmiati, meliliti balon dengan benang, sedang Nisa berusaha mengelembungkan balon dengan alat sederhana. Kaki kiri perempuan itu, menindis pedal, hingga angin bisa keluar. Balon perlahan membesar. Namun, kadang balon terlepas dari tangannya, melayang sebentar lalu jatuh.
Nisa lalu mengisi balon dengan angin. Balon yang sudah besar, di dililitkan kembali dengan benang. “ Dua gulungan benang biasa, untuk satu lampu. Kadang juga menyesuaikan deng ukurannya,” ungkap Rosmiati perempuan berusia  53 tahun ini.
Sementara Masni, mengunting kain merah warna jambu untuk hiasannya. “Ini bisa membantu, ada kerjaan. Kami ada 14 orang, tapi lain biasa benangnya di bawa pulang, dan dikerja di rumahnya masing-masing. Dan di sini adalah kerjaan sebab tak bisa kerja lain,” tuturnya. (*)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Musik Tradisi "Passayang-sayang" dari Mandar

MUSIK TRADISI. Pemain Pasayang- sayang  diacara peresmian Pusat Kajian Kebudayaan di Universitas Sulawesi Barat, Rabu 29 April. Musik tradisi ini telah tercatat sebagai warisan budaya tak benda di Indonesia . Tahan Tuturkan Kisah "Siamasei" Berjam-jam   Musik tradisional passayang-sayang dimainkan sebagai hiburan rakyat. Berisi ungkapan hati dan pemain passayang-sayang ini pun miliki cara agar penonton tahan berjam-jam lamanya. ILHAM WASI Majene Ketika gitar dipetik, melodi mengalir merdu. Petikan melodi Dahlan pun membui penonton. Irama melodi dipadukan dengan gitar bas yang dimainkan Abd Hamid. Giliran Zakaria dan Sinar melantunkan lirik lagu passayang-payang bergantian. Keduanya, masyarakat Mandar menyebutnya sebagai pakelong (penyanyi).  Mereka semua masih dalam satu grup musik tradisional dari Tiga Ria Tinambun yang berasal di Kecamatan Tinambung Polman. Tugas mereka sebagai orang-orang pelestari seni musik tradisional passayang- sayang  Ma

Kisah di Balik Nama Pasangkayu, dari Tutur Suku Kaili: Vova Sanggayu

Pemkab Mamuju Utara sedang mengupayakan perubahan nama menjadi Kabupaten Pasangkayu. Lalu, dari mana asal nama itu? ILHAM WASI Pasangkayu diyakini sebagai tempat pohon Vova Sanggayu/ist IBU kota Mamuju Utara (Matra) adalah Pasangkayu. Itulah yang diusulkan menjadi nama kabupaten. Agar ada yang khas, tidak lagi dianggap mirip dengan Mamuju, ibu kota provinsi Sulawesi Barat. Nama Pasangkayu punya kisah. Konon diambil dari nama sebuah pohon besar. Cerita yang sudah melegenda. Penulis buku Tapak-tapak Perjuangan Berdirinya Mamuju Utara , Bustan Basir Maras menjelaskan, selama dirinya melakukan risetnya, memang muncul beberapa versi. Namun, dia menemukan bila setidaknya 70 persen tokoh masyarakat di Matra mengakui Pasangkayu berasal dari kata “Vova” dan “Sanggayu”. Masyarakat meyakini pohonnya tumbuh   di Tanjung Pasangkayu, Kecamatan Pasangkayu, Matra. “Masih tampak kok bakau-bakaunya di sana. Tetapi vova sanggayu sudah tidak ada,” paparnya, Kamis, 23 Maret. Vova

Jejak Imam Lapeo, KH Muhammad Thahir (1)

Makam Imam Lapeo, di Mandar    Imam Lapeo, KH Muhammad Thahir Tak Pernah Putus dari Peziarah Di masjid Imam Lapeo atau dikenal masjid Nurut Taubah Lapeo. Letak masjidnya berada di Desa Lapeo Kecamatan Campalagian Kabupaten Polewali Mandar. Tak sulit mendapati masjid itu sebab berada di pinggir jalan Poros Polman-Majene, Sulbar. ILHAM WASI Campalagian Usai salat Dhuhur di masjid Imam Lapeo, Rabu 17 Juni. Saya tak langsung pulang, sebab ingin tahu banyak soal masjid tertua di tanah Mandar ini. Di Lapeo ini juga telah ditetapkan kawasan wisata religi. Empat orang sedang melingkar. Saya menyapanya, mereka para pengurus masjid imam Lapeo. Saat ditanyai soal kisah Imam Lapeo, seorang menunjuk papan informasi letaknya di sebelah kanan saf paling depan.  "Kisah Imam Lapeo ada di sana." kata salah satu pengurus Sumardin Kama menunjukkannya pada saya. Di situlah berisi riwayat singkat perjalanan hidup KH Muhammad Thahir Imam Lapeo (1839- 1952). "Sengaja pen