Deteksi Dini Kebuntingan Sapi Prof Latief Toleng miliki cara tersendiri untuk meningkatkan ketahanan pangan. Ketahanan pangan bukan hanya diukur dari ketersediaan beras tapi ketersediaan daging. ILHAM WASI Universitas Hasanuddin Prof Latief Toleng mendalami ilmu peternakan untuk meningkatkan produktifas pada sapi. Hal ini juga untuk mendorong ketahanan pangan, upaya lelaki kelahiran Sidrap, 2 Juni 1954 dengan manfaatkan teknik nuklir di bidang peternakan. Teknik nuklir dalam reproduksi ternak ini dengan Teknik Radioimmunoassay (RIA). Sejak tahun 1990-an Prof Latief, mulai tertarik dengan metode ini dan mempelajarinya. Katanya, beternak sapi miliki keunggulan tersendiri. Mulai dari memenuhi kebutuhan pokok, ekonomi, bahkan kotorannya mammpu dimanfaatkan untuk biogas. "Kotoran sapi bisa buat biogas, pupuk, juga produksi kebutuhan ekonomi," ungkapnya. Prof Latief pun mengaku tak hanya mengkajinya tapi turut menerapkannya di masyarakat. "Penelitian ada di Samata gowa, tapi di masyarakat turut untuk sosialiasikan cara-cara perternakan sapi lebih efektif," ujar lulusan University of Tsukuba, Jepang ini. Metode Teknik Radioimmunoassay (RIA) dikembangkannya."Metode untuk mengukur level hormon secara akurat dan stabil. Teknologi ini memeriksa kebuntingan sapi sejak dini," ujarnya saat ditemui di Pusat Kegiatan Penelitian Unhas, Senin 17 November. Teknologi ini bisa membuat peningkatan produktifitas sapi dan lebih efisien. Setiap tahun sekali sapi melahirkan. "Misalnya, sapi betina pasca dikawini pejantan masa dua puluh hari, teknologi ini dimanfaatkan mendeteksi kebuntingannya, beda dengan melihat hanya melihat konvensional menunggu dua atau tiga bulan," ungkapnya. Padahal, jika teknologi dikembangkan di masyarakat peningkatan produksi sapi meningkat. "Ini juga menekan kerugian pada pemeliharaan ternak sapi. Sehingga, siklus melahirkan sapi bisa teratur,"urai Prof Latief. Prof Latief menjelaskan ternak khususnya sapi masih sering dipotong untuk memenuhi daging, bahkan impor. "Bila sapi dalam negeri terpenuhi dan pertumbuhan sapi efektif, kebutuhan pangan pun terpenuhi, dan kita menikmati hasilnya,"katanya. Kendala lain dimiliki masyarakat sapi pejantan berkurang. Prof Latief pun mengarakan perlu adanya kandang khusus untuk pejantan. "Saat musim kawin bagi betina. Sapi betina ini dikawinkan dipejantan unggul. Kandang komunal ini disediakan melayani sapi-sapi betina. Jadi, produksi lebih cepat dan kandang komunal ini bisa digerakkan oleh pemerintah," ungkap Prof Latief. Prof Latief, rendahnya produktifitas ternak sapi. Upaya dilakukan untuk mengatasi teknologi inseminasi buatan (IB). namun, keberhasilan lebih rendah. Namun, di Sulsel metode ini masih belum dikembangkan secara maju. "Penyebab timbulnya masalah lain kondisi tubuh ternak sapi yang diinseminasi kurang bagus, dan waktu inseminasi yang tidak tepat, serta ternak dipelihara di daerah secara ekstensif. Makanya, dengan mendeteksi kebuntikan spai sejak dini juga bisa dijadikan solusi," tandas Guru Besar Fakultas Perternakan Unhas ini. (*)
Pemkab Mamuju Utara sedang mengupayakan perubahan nama menjadi Kabupaten Pasangkayu. Lalu, dari mana asal nama itu? ILHAM WASI Pasangkayu diyakini sebagai tempat pohon Vova Sanggayu/ist IBU kota Mamuju Utara (Matra) adalah Pasangkayu. Itulah yang diusulkan menjadi nama kabupaten. Agar ada yang khas, tidak lagi dianggap mirip dengan Mamuju, ibu kota provinsi Sulawesi Barat. Nama Pasangkayu punya kisah. Konon diambil dari nama sebuah pohon besar. Cerita yang sudah melegenda. Penulis buku Tapak-tapak Perjuangan Berdirinya Mamuju Utara , Bustan Basir Maras menjelaskan, selama dirinya melakukan risetnya, memang muncul beberapa versi. Namun, dia menemukan bila setidaknya 70 persen tokoh masyarakat di Matra mengakui Pasangkayu berasal dari kata “Vova” dan “Sanggayu”. Masyarakat meyakini pohonnya tumbuh di Tanjung Pasangkayu, Kecamatan Pasangkayu, Matra. “Masih tampak kok bakau-bakaunya di sana. Tetapi vova sanggayu sudah tidak ada,” paparnya, Kamis, 23 Maret. V...
Komentar
Posting Komentar