Menara Masjid Lapeo |
Menara Sempat Miring, Tegak Setelah Gempa
Mendengar kisah-kisah dari Imam Lapeo, KH Muhammad Thahir membuat kita betah dan ingin tahu lebih dalam. Masjid berada di DesaLapeo menjadi saksinya
ILHAM WASI
Campalagian
megah |
Luas masjid berlantai tiga ini panjangnya sekira 25 meter dan lebar 40 meter. Berdiri satu menara warna keemasan. Tak disangka menara tingginya 30 meter itu menyimpan cerita.
Saya kembali masuk ke dalam masjid menemui pengurus masjid, Sumardin Kamal. Dia juga khatib di masjid ini. Lelaki berusia 72 bilang kepada saya. Dulu ada dua menara berdiri, akan tetapi sejak tetapi gempa melanda Mandar menara berukuran 15 meter roboh pada tahun 1969-an. "Begitupun dengan masjid ini ikut hancur, hanya menaranya bertahan akan tetapi berdiri miring," ungkapnya.
Berbondong-bondonglah masyarakat membenahi puing dari rerutuhan masjid dan kembali membangun masjid. "Menara dibiarkan miring belum sepenuhnya diperbaiki," ungkap pengurus Masjid lainnya, H Abdullah Adam menambahkan.
Menara miring sekira 30 derajat membuat banyak menjadi khawatir, takut tertimpa. "Mobil itu yang lewat pasti melaju dengan cepat, sebab takut tertimpa di kira bakal roboh," ungkap Adam.
Kala terjadi gempa susulan satu bulan berikutnya, terjadi dini hari. "Tiba-tiba saja imam masjid saat itu, KH Abd Hafid Ali imam membangunkan warga. Dia berkata kepada kami menara tegak kembali, jelasnya warga kaget saat itu," tutur Adam. Saya hanya takjub mendengar cerita soal menara Masjid Lapeo ini.
Saya menanyakan soal bahan dari menara itu, kata Adam menaranya terbuat kayu, tapi pengikat pada dasar bangunan agar berdiri kokoh ada bahan gula merah dan putih telur dipakai untuk perekatnya. Soal jumlah berapa banyak digunakan gula dan telur, Adam tak bisa mengira jumlahnya.
Tak hanya masjid Lapeo ini menyimpan peristiwa. Akan tetapi, perjalanan imam Lapeo, KH Muhammad Thahir masih banyak bisa digali.
Saya kembali mengali peristiwa KH Muhammad Thahir, dari KH Syarifuddin Muhsin. Dia mengatakan Tak hanya tanah Mandar menjadi pusat penyebaran Islam. Akan tetapi, Imam Lapeo, KH Muhammad Thahir menyebarkan Islam hingga daerah lainnya, sebut saja Mamuju, Sidrap, Luwu, Enrekang, Bone, Soppeng, dan daerah lainnya.
"Dia banyak memprakarsai berdiri masjid dari Mamuju ada sekira 17 buah, apalagi Polmas, Sidrap, Luwu, Enrekang, Bone, Soppeng serta daerah lainnya, soal jumlah belum ada mencatatnya." KH Syarifuddin melanjutkan kisahnya.
KH Muhammad Thahir, juga dipanggil Qadhi Tappalang sebab menjabat Imam Lapeo. Semasa kecil bernama Junaihin Namli.
Semasa kecil KH Muhammad Thahir, kata Syarifuddin. Adiknya KH Muhammad Thahir, Hj Sitti Rahma wafat tahun 1976. Dia dimakamkan di sebelah selatan Makam Imam Lapeo. Dia pernah berbincang padanya.
Ketika umur 5-6 tahun Junaihin di bawa di kelaut di perairan Teluk Mandar untuk memancing oleh Bapaknya. Bapaknya, tiba-tiba kaget mendengar suara benda jatuh ke laut. Junaihin terjatuh kelaut.
"Kemudian Bapaknya memanggil Junaihin..Junaihin..Junaihin.. sebanyak tiga kali. Dia tidak mendengar suaranya anaknya. Dia merasa kecewa sebab anak sulungnya, anak masa depan telah tenggelam di laut." Syarifuddin meneruskan tuturannya.
Bapaknya terusnya memanggil memanggilnya, tak ada jawaban. "Tiba saja, Junaihin serak memanggil Bapaknya. "Pua dinida'e" artinya Ayah di sinilah saya. Dia melihatnya anaknya berdiri di laut, kemudian ditariknya ke perahu, dan mengajaknya pulang," ungkap Syarifuddin.
KH Muhammad Thahir memang sejak kecil diberikan kelebihan dari Allah. "Dia juga gemar belajar berguru ke banyak tempat sejak kecil," tuturnya.
Bahkan diusianya 17 tahun. Dia menunaikan Ibadah Haji kali pertama tahun 1856. Dia mendapat bantuan dari Arung. Dia pun bersama Arung dan keluarganya menunaikan ibadah haji.
"Kondisi di sana terjadi konflik Jazirah Arab, terjadi perebutan kekuasan dari Amir keturunan Sayyid kepada Rezim Su'udi. Di Jeddah, rombongannya dari Sulawesi tidak diperkenankan meneruskan perjalanan. Waktu sudah habis berbulan-bulan, biaya pun dipakai sangat tinggi bahkan ada tertimpa kematian. Mereka pun di larang manasik. Tak ada bisa melakukan protes, karena tidak bisa berbahasa Arab," katanya.
Dia tampil melakukan menghadap laskar Arab. Dia meminta meneruskan perjalan Haji menyampaikan kegelisahan mereka. "Kalau dilarang, dampaknya pasti tidak ada lagi yang mau datang. Lantas ucapan itu semuanya bisa meneruskan perjalanan. Banyak bertanya siapa nama anak muda itu, dan menanyakan siapa nama serta asal-usulnya. Dia dari Pambusuang dari tanah Mandar," ungkapnya.
Dia dapat pandai berbahasa Melayu, Bugis, dan Arab. "Di masa itu sangat jarang bisa mengusai bahasa seperti itu dan Dia bisa berhubungan dengan pelbagai etnis, agama, budaya," kata Syarifuddin.
Kisah tokoh syiar Islam yang lahir tahun 1839 dan wafat hari Selasa, 11 Juni 1952 atau 24 Ramadan 1371 H, tepat diusianya ke-113 tahun. Dia terus dikenang oleh masyarakat. (*)
Komentar
Posting Komentar