Langsung ke konten utama

Layang-Layang Sappugeno di Mandar

Layanglayang Sappugeno



Senyum Mereka Mengikat dalam Persaudaraan


.

Suka cita masyarakat pesisir di Polewali Mandar menyambut 70 tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Tua-muda-anak-anak pun menyambutnya dengan lomba layang-layang. Mereka tak sekadar bermain layangan, akan tetapi memaknainya seperti menjaga silaturahmi.


ILHAM WASI
Balanipa

Bila Benjamin Franklin, menerbangkan layang-layang sebagai penelitian fenomena listrik. Kemudian, lelaki kelahiran Boston, Amerika Serikat itu, usai eskperimennya menerbangkan layang-layang saat badai dan petir tiba, dia pun menemukan penangkal petir. Dia pun bersuka cita karena penemuannya.

Nah, di tanah Mandar sendiri, layang-layang juga diterbangkan. Anak-anak, orang dewasa maupun orang tua, menyatu dihelatan itu. Layangan itu diterbangkan tak hanya sebagai hiburan tetapi menemukan perekat silaturahmi. Mereka juga bersuka cita.

Ombak surut, angin masih menghembus pelan. Sinar matahari pun cukup terik. Di Pantai Palippis Desa Bala Kecamatan Balanipa, Polman itu, masyarakat berkumpul. Mereka sedang hendak bermain layang-layang.
Semua layangan itu sengaja dilombakan, diukur ketinggiannya. Layangan paling tinggi mengudara, jadi terbaik untuk bisa lolos babak berikutnya.  Khusus lomba itu, ukuran sayap tepat 50 centimeter. Tali juga dibatasi ukurannya 300 meter.

“Ada 275 layang-layang ikut berlomba, peserta diberi waktu 10 menit untuk menerbangkannya, tiap terbaik ditandingkan hingga layangan terbaik,” kata Ketua Panitia Lomba Layang-Layang, Tanda, Sabtu, 8 Agustus.

Panitia sengaja menyeragamkan jenis layang-layangnya. Mereka menyebut layangan itu, layang-layang Sappugeno. Nama layangan diambil dari bahasa Mandar. "Dari dulu namanya layang-layang Sappugeno. Sappugeno ini, bisa ditaksir mengoyang-goyangkan, kadang diulur atau ditarik, ada juga menyebutnya diambil dari tapis padi, digoyang-goyangkan," ujar Tanda.

Angin menghembus, menyapa daerah pesisir yang ditumbuhi ribuan nyiur itu. Angin seolah memberi isyarat, bila hembusannya cukup untuk menerbangkan layangan.

Dihamparan pasir putih yang memanjang di bibir pantai itu, mereka mulai mengetes kecepatan angin. Di angkatnya layangan itu dengan kedua tangannya. Layangan pun menari diterpa angin sepoi-sepoi.
Seorang mengarahkan, lewat pengeras suara. Dia memberi isyarat agar para peserta lomba itu siap menerbangkan layang-layangnya.

Dia memberi waktu lima menit bersiap. Para peserta menyiapkan layangannya. Dikesempatan untuk penerbangan pertama diberikan pada lima layang-layang.

Tanda kekompakan mereka terlihat, masing-masing telah ambil peran. Ada yang bertugas khusus mengurai dan menggulung tasi, benang layangan, digulung dari alat pemintal. Juga, beda tugas orang yang menerbangkan layangan.

“Bersiap-siap semuanya,” kata seorang memegang megaphone itu. Halid pun demikian, dia juga bersiap. Karena layangan ada sobekan, dia memanggil rekannya.

Lelaki itu, berlari sambil meneteng tas hitam, hampiri layangan yang dibaringkan pasir. Dikeluarkan pelaratan sederhana gunting dan kertas, juga lem. Halim mulai gelisah, sedikit terburu-buru dikejar waktu. Rekannya bergerak tangkas, seolah dokter, memberi perban menutup luka. Sobekan itu pun ditutupi, layangan siap mengudara.

Menerbangkan layang-layang itu hanya selama 10 menit. Dibutuhkan tenaga dua orang menerbangkan.
Saat manjong atau satu orang memegang layangan, satunya membentang benang untuk dinaikkan diberi waktu 3 menit dan 7 menit mappalolo (menerbangkan diudara).

Layangan mengudara, mereka kompak mendongak ke langit. Kadang juga, ada terbahak bila layangan putus atau tercebur ke laut. Langit dihiasi layangan warna-warni, merah, putih, hijau.
Agar lebih semarak, terkadang layangan itu dinamai, diambil dari film India, yang popular di Indonesia.  “Ayo, Jodha...masa kalah Jodha,” teriak penonton menamai layangan peserta ikut lomba, Haq.

Jodha, layangan milik Haq. Dinilai cukup tinggi, makanya dia lolos babak berikutnya. Waktu 10 menit habis benang 300 meter layangan itu digulung. Haq tak bisa menggulung sendiri. Butuh enam orang agar layangan itu, bisa diturunkan. Rekannya yang lainnya turut membantu.

Masyarakat pesisir di Polman, tak hanya jadikan, lomba layangan pengisi waktu senggang dikala tak melaut. Akan tetapi, itu ajang cermin dari silaturahmi. Bukan juga soal hadiah televisi 21 inci, menjaga kerukunan masyarakat lebih utama. Senyum mereka terus mengikat dalam persaudaraan.

Mengikat layangan, agar takut putus. Bila putus akan kejar untuk disambung lagi. Jika luka akan diobati. Begitu pun dengan kebersamaan. Mengikatnya, erat, mesti jauh terbang ke langit, makin tinggi, ia tak ingin melihatnya jatuh dan putus, bahkan menjauh. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Musik Tradisi "Passayang-sayang" dari Mandar

MUSIK TRADISI. Pemain Pasayang- sayang  diacara peresmian Pusat Kajian Kebudayaan di Universitas Sulawesi Barat, Rabu 29 April. Musik tradisi ini telah tercatat sebagai warisan budaya tak benda di Indonesia . Tahan Tuturkan Kisah "Siamasei" Berjam-jam   Musik tradisional passayang-sayang dimainkan sebagai hiburan rakyat. Berisi ungkapan hati dan pemain passayang-sayang ini pun miliki cara agar penonton tahan berjam-jam lamanya. ILHAM WASI Majene Ketika gitar dipetik, melodi mengalir merdu. Petikan melodi Dahlan pun membui penonton. Irama melodi dipadukan dengan gitar bas yang dimainkan Abd Hamid. Giliran Zakaria dan Sinar melantunkan lirik lagu passayang-payang bergantian. Keduanya, masyarakat Mandar menyebutnya sebagai pakelong (penyanyi).  Mereka semua masih dalam satu grup musik tradisional dari Tiga Ria Tinambun yang berasal di Kecamatan Tinambung Polman. Tugas mereka sebagai orang-orang pelestari seni musik tradisional passayang- sayang  Ma

Kisah di Balik Nama Pasangkayu, dari Tutur Suku Kaili: Vova Sanggayu

Pemkab Mamuju Utara sedang mengupayakan perubahan nama menjadi Kabupaten Pasangkayu. Lalu, dari mana asal nama itu? ILHAM WASI Pasangkayu diyakini sebagai tempat pohon Vova Sanggayu/ist IBU kota Mamuju Utara (Matra) adalah Pasangkayu. Itulah yang diusulkan menjadi nama kabupaten. Agar ada yang khas, tidak lagi dianggap mirip dengan Mamuju, ibu kota provinsi Sulawesi Barat. Nama Pasangkayu punya kisah. Konon diambil dari nama sebuah pohon besar. Cerita yang sudah melegenda. Penulis buku Tapak-tapak Perjuangan Berdirinya Mamuju Utara , Bustan Basir Maras menjelaskan, selama dirinya melakukan risetnya, memang muncul beberapa versi. Namun, dia menemukan bila setidaknya 70 persen tokoh masyarakat di Matra mengakui Pasangkayu berasal dari kata “Vova” dan “Sanggayu”. Masyarakat meyakini pohonnya tumbuh   di Tanjung Pasangkayu, Kecamatan Pasangkayu, Matra. “Masih tampak kok bakau-bakaunya di sana. Tetapi vova sanggayu sudah tidak ada,” paparnya, Kamis, 23 Maret. Vova

Jejak Imam Lapeo, KH Muhammad Thahir (1)

Makam Imam Lapeo, di Mandar    Imam Lapeo, KH Muhammad Thahir Tak Pernah Putus dari Peziarah Di masjid Imam Lapeo atau dikenal masjid Nurut Taubah Lapeo. Letak masjidnya berada di Desa Lapeo Kecamatan Campalagian Kabupaten Polewali Mandar. Tak sulit mendapati masjid itu sebab berada di pinggir jalan Poros Polman-Majene, Sulbar. ILHAM WASI Campalagian Usai salat Dhuhur di masjid Imam Lapeo, Rabu 17 Juni. Saya tak langsung pulang, sebab ingin tahu banyak soal masjid tertua di tanah Mandar ini. Di Lapeo ini juga telah ditetapkan kawasan wisata religi. Empat orang sedang melingkar. Saya menyapanya, mereka para pengurus masjid imam Lapeo. Saat ditanyai soal kisah Imam Lapeo, seorang menunjuk papan informasi letaknya di sebelah kanan saf paling depan.  "Kisah Imam Lapeo ada di sana." kata salah satu pengurus Sumardin Kama menunjukkannya pada saya. Di situlah berisi riwayat singkat perjalanan hidup KH Muhammad Thahir Imam Lapeo (1839- 1952). "Sengaja pen