Langsung ke konten utama

*)Menyusuri Jalan ke Toraja (1)

Mitos "Aluk Todolo" dan Mengobati Rasa Penasaran 

Eksotika tanah Toraja kian menarik. Mulai dari sejarah, arsitektur, kesenian, dan kebudayaannya tak pernah hilang pesona. 

ILHAM WASI
Toraja


 Dua rekan jurnalis Jawa Pos ialah Difta Wahyu dan Ulum. Mereka begitu tertarik dengan tanah Toraja. Pasalnya, kali pertama kunjungannya di Sulawesi Selatan. "Dekat yah Mas, Torajanya?," tanya Ulum saat bertemu di Bandara Sultan Hasanuddin, malam Jumat, 14 November.
 "Delapan atau sembilan jam perjalanan, sekitar 329 km ke arah utara kota Makassar," jawabku. Rasa penasarannya terhadap Toraja pun mengoda. Lantas pertanyaan dicecarnya padaku hanya untuk mendengar kisah soal Toraja. "Menuju ke sana bisa naik bus. Tetapi, bus sudah berangkat tadi pukul 22.00 wita atau memilih jasa travel esok pagi," ujarku lagi.  
 Mesti pilihannya menempuh perjalanan dengan mobil redaksi Harian FAJAR, disediakan khusus untuk memandu keduanya ke Toraja. Mobil melaju ke arah utara. Melirik jam menunjukkan waktu pukul 01.21 wita. "Bila diperkirakan tibanya di pagi hari sekitar pukul 08.00 wita. Kalau naik bus berangkat pukul sepuluh malam, pagi pukul enam sudah tiba di Makale," kataku lagi.
 "Makale itu di mana? soalnya kami mengenal tanah Toraja lewat internet saja," cecar Ulum ingin mendengarkan lagi soal lokasi yang ingin dikunjunginya. 
 Makale adalah kota dari Kabupaten Toraja. Awalnya Toraja satu kabupaten, namun mekar menjadi dua kabupaten yaitu Toraja dan Toraja Utara. "Toraja ibukotanya Makale, dan Toraja Utara ibukotanya Rantepao. Mesti dibagi dua wilayah, tetapi budaya tetap sama, mulai arsitektur, dan upacara kematian atau Rambu Solo, tetap sama," jelasku. 
 Ulum masih menyimpan rasa penasaran terhadap Sulawesi Selatan. Bukan lagi soal Toraja yang ditanyakannya tetapi soal suku Bugis. "Kalau daerah bugis. Apa rumah panggung masih dipertahankan Mas?," tuturnya. 
 Bicara soal bugis mesti memilahnya. Memilah dari orangnya, daerah, dan sukunya, serta arsitekturnya. "Kalau orang bugis itu tersebar ada di Bone, Maros, Pangkep, Sidrap, Soppeng, Wajo, Sinjai, bahkan persebarannya bisa ditemukan di mana pun. Tapi, bisa mengunjungi daerah Bone salah satu daerah Bugis. Rumah panggung masih ada yang pertahankan, tetapi sudah banyak yang gunakan konsep rumah yang lebih modern dengan menggunakan beton," kataku menerangkan.
 "Jawa timur ada rumah adat Joglo," selanya Ulum. Dialog kami jedah sejenak, mobil melaju melambat di Pangkep. Mobil berbelok  sebab pelebaran jalan belum tuntas masih terhalang bangunan. "Ini masih daerah Pangkep, tadi kita melewati Maros, dan akan melalui Barru, Parepare, Sidrap, Enrekang," sebutku lagi. 
 Rasa penasaran kembali menyeruak. Tanyanya soal Toraja dan Bugis kini dibandingkannya. Mesti jadi pandu untuk menjawab tanya dari Ulum. Mitos-mitos daerah ini terasa. 
 Masing-masing daerah Sulsel ini mengenal Tomanurun tapi konsep yang berbeda. To Manurung  Tomborok Langik di Tanah Toraja,  To Manurung di Matajang Toro di Bone, Batara Guru di Luwuk, begitu pun daerah lainnya di Sulsel yang mengenal dengan To Manurung. Tapi, di Toraja keyakinan awalnya dikenal aluk todolo. 
  "Kalau di Jawa tengah, Blora ada ajaran Samin," sela Ulum. Dialog kami semakin intim mengisi perjalanan. Ulum masih menunggu jawaban atas bugis dan toraja. 
 Dari konsep arsitektur rumah berbeda. Jika dibandingkan dari dua tubuh yang miliki perbedaan. Ciri fisik saja, perbedaan sudah kelihatan dengan jelas. 
 Rumah panggung bugis, bagian atas untuk lumbung padi, tengah dihuni keluarga, dan bawah biasanya juga pelihara ternak. Semuanya juga dikenal dengan kasta, bila atap bersusun tiga tanda kelas bangsawan sedangkan satu saja ciri rumah masyarakat pada umumnya. 
 Toraja pun demikian. Rumah adatnya adalah Tongkonan. "Modelnya menyerupai perahu bagian depan dan atap melengkung seperti tanduk kerbau, ukirannya pun punya ciri khas," beberku seadanya.
 Mobil tetap melaju di malam lengang di kabupaten Barru. Ulum mengikuti Difta terlalap lebih awal. Maklum saja, keduanya tak miliki waktu istirahat cukup pagi mesti menjelajahi tanah Toraja. 
 Dini hari, masyarakat telah memilih untuk terlelap. Di jalan Trans Sulawesi ini masih terlihat aktvitas. Truk-truk pengangkut barang, baik dari ukuran mini, sedang, hingga truk besar tetap melaju di malam hari. 
 Tandanya jalur perekonomian tetap berjalan di malam hari. Truk-truk itu terlihat mengangkut barang logistik, bahan pokok, bahan bangunan seperti semen, dan barang lainnya. 
 Ada juga truk mengangkut barang lebih tinggi dari baknya. Bahkan, puluhan truk menepi untuk parkir di depan sebuah warung. Hanya lampu sein tetap menyala. Kuketahui sopir-sopir itu beristirahat sejenak untuk menunguk secangkir kopi di kabupaten Barru ini.     
 Suasana lengang cukup terasa. Suara truk terus saja silih berganti melaju. Mengobati rasa kantuk dalam perjalanan. Aku memilih memandangi sekitar jalan dilalui lalu mencatatnya di ponsel. 
 Andai pelebaran jalan sudah selesai, jalan tak bergelombang. Median jalan pemisah fisik jalur lalu lintas dicat sebab telah pudar, begitu pun dengan lampu jalan tak merata. "Fungsinya pasti ada, jalan yang terang, dan median jalan terlihat setidaknya membantu pengemudi melihat jalan," tanyaku pada Baddu, pengemudi mobil membawa kami ke Toraja. "Seadainya, begitu!," jawabnya. 
 Penulis memilih bergabung dengan kedua rekan terlalap. Baddu tetap fokus menyetir membawa kami ke Tana Toraja. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Musik Tradisi "Passayang-sayang" dari Mandar

MUSIK TRADISI. Pemain Pasayang- sayang  diacara peresmian Pusat Kajian Kebudayaan di Universitas Sulawesi Barat, Rabu 29 April. Musik tradisi ini telah tercatat sebagai warisan budaya tak benda di Indonesia . Tahan Tuturkan Kisah "Siamasei" Berjam-jam   Musik tradisional passayang-sayang dimainkan sebagai hiburan rakyat. Berisi ungkapan hati dan pemain passayang-sayang ini pun miliki cara agar penonton tahan berjam-jam lamanya. ILHAM WASI Majene Ketika gitar dipetik, melodi mengalir merdu. Petikan melodi Dahlan pun membui penonton. Irama melodi dipadukan dengan gitar bas yang dimainkan Abd Hamid. Giliran Zakaria dan Sinar melantunkan lirik lagu passayang-payang bergantian. Keduanya, masyarakat Mandar menyebutnya sebagai pakelong (penyanyi).  Mereka semua masih dalam satu grup musik tradisional dari Tiga Ria Tinambun yang berasal di Kecamatan Tinambung Polman. Tugas mereka sebagai orang-orang pelestari seni musik tradisional passayang- sayang  Ma

Kisah di Balik Nama Pasangkayu, dari Tutur Suku Kaili: Vova Sanggayu

Pemkab Mamuju Utara sedang mengupayakan perubahan nama menjadi Kabupaten Pasangkayu. Lalu, dari mana asal nama itu? ILHAM WASI Pasangkayu diyakini sebagai tempat pohon Vova Sanggayu/ist IBU kota Mamuju Utara (Matra) adalah Pasangkayu. Itulah yang diusulkan menjadi nama kabupaten. Agar ada yang khas, tidak lagi dianggap mirip dengan Mamuju, ibu kota provinsi Sulawesi Barat. Nama Pasangkayu punya kisah. Konon diambil dari nama sebuah pohon besar. Cerita yang sudah melegenda. Penulis buku Tapak-tapak Perjuangan Berdirinya Mamuju Utara , Bustan Basir Maras menjelaskan, selama dirinya melakukan risetnya, memang muncul beberapa versi. Namun, dia menemukan bila setidaknya 70 persen tokoh masyarakat di Matra mengakui Pasangkayu berasal dari kata “Vova” dan “Sanggayu”. Masyarakat meyakini pohonnya tumbuh   di Tanjung Pasangkayu, Kecamatan Pasangkayu, Matra. “Masih tampak kok bakau-bakaunya di sana. Tetapi vova sanggayu sudah tidak ada,” paparnya, Kamis, 23 Maret. Vova

Jejak Imam Lapeo, KH Muhammad Thahir (1)

Makam Imam Lapeo, di Mandar    Imam Lapeo, KH Muhammad Thahir Tak Pernah Putus dari Peziarah Di masjid Imam Lapeo atau dikenal masjid Nurut Taubah Lapeo. Letak masjidnya berada di Desa Lapeo Kecamatan Campalagian Kabupaten Polewali Mandar. Tak sulit mendapati masjid itu sebab berada di pinggir jalan Poros Polman-Majene, Sulbar. ILHAM WASI Campalagian Usai salat Dhuhur di masjid Imam Lapeo, Rabu 17 Juni. Saya tak langsung pulang, sebab ingin tahu banyak soal masjid tertua di tanah Mandar ini. Di Lapeo ini juga telah ditetapkan kawasan wisata religi. Empat orang sedang melingkar. Saya menyapanya, mereka para pengurus masjid imam Lapeo. Saat ditanyai soal kisah Imam Lapeo, seorang menunjuk papan informasi letaknya di sebelah kanan saf paling depan.  "Kisah Imam Lapeo ada di sana." kata salah satu pengurus Sumardin Kama menunjukkannya pada saya. Di situlah berisi riwayat singkat perjalanan hidup KH Muhammad Thahir Imam Lapeo (1839- 1952). "Sengaja pen