Langsung ke konten utama

Perahu Baqgo: Hampir Punah, Dibangun Kembali untuk Literasi

Tak hanya pakur dan sandeq perahu tradisional Mandar. Akan tetapi, perahu Baqgo. Dulunya perahu ini untuk niaga. Namun, perahu Baqno ini telah dibuat, untuk mengampayekan gerakan literasi.

ILHAM WASI
Polman

Di kolom rumah panggung, seorang lelaki mengukur papan. Dipastikannya ukuran yang diinginkannya telah tepat. Dia pun meraih pensil, lalu mencoret garis lurus pada papan.
Aku menyapanya. Kayu apa ini Pak?. "Kayu Tippulu, buat perahu Baqgo," jawabnya. Dia lalu meletakkan pensil dan meterannya. Digapainya bangku kecil untuk memperbaiki posisi duduknya.
Dia adalah seorang pembuat perahu di Desa Lapeo Kecamatan Campalagian Kabupaten Polman, Sulawesi Barat. Anwar Puang Marni begitu ia disapa. Usianya 60 tahun, begitu dia perkirakan umurnya. "Sekitar enam tahun lah umurku."
Bila bicara soal perahu, Puang Marni ini dikenal piawai. Dia pun menceritakan soal perahu bikinannya. Katanya, perahu Baqgo dibuatnya saat ini dipesan khusus.
"Perahu pesanannya pak Ridwan Alimuddin," ucapnya sambil merekatkan kopiah di kepalanya dengan kedua tangan.
Perahu Baqgo ini adalah perahu tradisi di Polman. Disebut perahu tradisi sebab masih memakai layar. "Kalau jadi pakai layar. Perahu ini jarang yang pesan sebab sekarang perahu pakai mesin," tuturnya.
Layar pada perahu Baqgo ini ada dua. Pada layar depan disebut tarengkeq dan layar belakang dinamai nade. Layar tarengkeq akan terkait dengan anjong (tali layar) yang dikait dengan tarengket (moncong perahu).
Kedua layar itu mengikat dari tiang dengan tinggi 5 meter untuk perahu baqgo berukuran 10 meter. Layar-layar itu akan membentuk layar segitiga. "Perahu ini bisa menampung sepuluh sampai lima belas orang dan lama pembuatannya dua hingga tiga bulan," ujar Anwar.
Anwar bilang proses memulai membuat perahu Baqgo ini diawali dengan ritual. Ritual dengan menentukan hari baik. Bila hari yang ditentukan baik, sajian-sajian pelengkap doa disiapkan. "Ada baca-bacanya nanti. Sebentar ini kalau datang yang punya kita mulai baca-bacanya," ungkapnya.
Beruntung, Sabtu 25 April dipilih sebab merupakan hari baik. "Bagus hari ini untuk memulai." Seorang lelaki menyela pembicaraan. Dia juga bakal memanjatkan doa. Iata Puang Marsaid begitu dia mengenalkan namanya.
"Doa-doanya kita panjatkan pada Tuhan, minta doa juga pada Nabi Nuhung atau Nuh, diakan nabinya kalau perahu. Doa yang didapatkan dari imam Lapeo," ungkapnya.
Ritual bakal dimulai, sebab Ridwan Alimuddin telah tiba. Dia seorang jurnalis dan juga penulis buku Sandeq, Perahu Tercepat Nusantara yang diterbitkan oleh Penerbit Ombak.
Mereka lalu mendekat pada lunas perahu. Kayu yang memanjang itu ada 10 meter. Dibagian depan dan belakang lunas perahu ada bagian melengkung naik. Lengkungan itu disebut Pamarung disambung dengan lunas.
Mereka duduk berhadapan, diantarai lunas perahu. Asap dupa mengepul. Lunas akan dikaitkan dengan pamarung. Sebelumnya, lunas dilumuti dengan ramuan parut kelapa, gula merah, bubuk emas, air sam-sam. "Ini menandakan kesuburan. Bagian ini seperti hubungan suami-istri yang disatukan. Pamarung ini simbol perempuan dan lunas itu laki-lakinya." Ridwan menerangkan.
Lunas telah direkat dengan pamarung. Dijengger ayam jantan itu, dilukai agar diambil setitik darahnya, kemudian dioles pada lunas. "Cera namanya ini," kata Anwar. Begitupun bagian belakang perahu, prosesnya juga sama. Bila telah selesai semua giliran Iata. Iata inilah yang memimpin doa secara bersama. "Tak hanya diawal buat perahu buat ritual, tetapi juga kalau pertama turun laut, buat barasanji di atas kapal," ucap Iata.
Perahu yang dipesan oleh Ridwan ini, untuk diluncurkan saat Makassar International Writers Festival Juni mendatang di Makassar. Memilih perahu ini kata Ridwan, melihat kejayaan maritim. Teknologi telah mengubah prilaku masyarakat, begitupun dengan perahu Baqgo. "Tahun 1970-an perahu Baqgo ini, masih berjaya, akan tetapi perahu ini tak lagi didapatkan tahun-tahun berikutnya," ungkapnya.
Perahu Baqgo ini hampir saja hilang. "Bahkan perahu ini bisa dikatakan lebih tua dengan perahu model Pinisi," akunya. Akan tetapi, saat ini tak lagi banyak digunakan.
"Dulunya dia perahu niaga, dan saat ini fungsinya telah digantikan dengan kapal-kapal besi. Sejarahnya digunakan untuk mengangkut hasil bumi antar pulau Mmisalnya saja kopra (kelapa) yang di bawah ke Surabaya, pasir biasa diangkut ke Kalimantan, dan fungsi kapal niaga lainnya," ungkapnya.
Perahu Baqgo ini akan digunakannya untuk mengampayekan gerakan literasi. "Bisa menjangkau pesisir, pulau-pulau, juga pinggiran sungai. Perahu ini kami namai nanti perahu Baqgo Pattingalloang," tuturnya. Di atas kapal ini pun bisa memuat ribuan buku didalamnya. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Musik Tradisi "Passayang-sayang" dari Mandar

MUSIK TRADISI. Pemain Pasayang- sayang  diacara peresmian Pusat Kajian Kebudayaan di Universitas Sulawesi Barat, Rabu 29 April. Musik tradisi ini telah tercatat sebagai warisan budaya tak benda di Indonesia . Tahan Tuturkan Kisah "Siamasei" Berjam-jam   Musik tradisional passayang-sayang dimainkan sebagai hiburan rakyat. Berisi ungkapan hati dan pemain passayang-sayang ini pun miliki cara agar penonton tahan berjam-jam lamanya. ILHAM WASI Majene Ketika gitar dipetik, melodi mengalir merdu. Petikan melodi Dahlan pun membui penonton. Irama melodi dipadukan dengan gitar bas yang dimainkan Abd Hamid. Giliran Zakaria dan Sinar melantunkan lirik lagu passayang-payang bergantian. Keduanya, masyarakat Mandar menyebutnya sebagai pakelong (penyanyi).  Mereka semua masih dalam satu grup musik tradisional dari Tiga Ria Tinambun yang berasal di Kecamatan Tinambung Polman. Tugas mereka sebagai orang-orang pelestari seni musik tradisional passayang- sayang  Ma

Kisah di Balik Nama Pasangkayu, dari Tutur Suku Kaili: Vova Sanggayu

Pemkab Mamuju Utara sedang mengupayakan perubahan nama menjadi Kabupaten Pasangkayu. Lalu, dari mana asal nama itu? ILHAM WASI Pasangkayu diyakini sebagai tempat pohon Vova Sanggayu/ist IBU kota Mamuju Utara (Matra) adalah Pasangkayu. Itulah yang diusulkan menjadi nama kabupaten. Agar ada yang khas, tidak lagi dianggap mirip dengan Mamuju, ibu kota provinsi Sulawesi Barat. Nama Pasangkayu punya kisah. Konon diambil dari nama sebuah pohon besar. Cerita yang sudah melegenda. Penulis buku Tapak-tapak Perjuangan Berdirinya Mamuju Utara , Bustan Basir Maras menjelaskan, selama dirinya melakukan risetnya, memang muncul beberapa versi. Namun, dia menemukan bila setidaknya 70 persen tokoh masyarakat di Matra mengakui Pasangkayu berasal dari kata “Vova” dan “Sanggayu”. Masyarakat meyakini pohonnya tumbuh   di Tanjung Pasangkayu, Kecamatan Pasangkayu, Matra. “Masih tampak kok bakau-bakaunya di sana. Tetapi vova sanggayu sudah tidak ada,” paparnya, Kamis, 23 Maret. Vova

Jejak Imam Lapeo, KH Muhammad Thahir (1)

Makam Imam Lapeo, di Mandar    Imam Lapeo, KH Muhammad Thahir Tak Pernah Putus dari Peziarah Di masjid Imam Lapeo atau dikenal masjid Nurut Taubah Lapeo. Letak masjidnya berada di Desa Lapeo Kecamatan Campalagian Kabupaten Polewali Mandar. Tak sulit mendapati masjid itu sebab berada di pinggir jalan Poros Polman-Majene, Sulbar. ILHAM WASI Campalagian Usai salat Dhuhur di masjid Imam Lapeo, Rabu 17 Juni. Saya tak langsung pulang, sebab ingin tahu banyak soal masjid tertua di tanah Mandar ini. Di Lapeo ini juga telah ditetapkan kawasan wisata religi. Empat orang sedang melingkar. Saya menyapanya, mereka para pengurus masjid imam Lapeo. Saat ditanyai soal kisah Imam Lapeo, seorang menunjuk papan informasi letaknya di sebelah kanan saf paling depan.  "Kisah Imam Lapeo ada di sana." kata salah satu pengurus Sumardin Kama menunjukkannya pada saya. Di situlah berisi riwayat singkat perjalanan hidup KH Muhammad Thahir Imam Lapeo (1839- 1952). "Sengaja pen