Pemkab
Mamuju Utara sedang mengupayakan perubahan nama menjadi Kabupaten Pasangkayu.
Lalu, dari mana asal nama itu?
ILHAM
WASI
Pasangkayu
diyakini sebagai tempat pohon Vova Sanggayu/ist |
IBU
kota Mamuju Utara (Matra) adalah Pasangkayu. Itulah yang diusulkan menjadi nama
kabupaten. Agar ada yang khas, tidak lagi dianggap mirip dengan Mamuju, ibu kota
provinsi Sulawesi Barat.
Nama
Pasangkayu punya kisah. Konon diambil dari nama sebuah pohon besar. Cerita yang
sudah melegenda.
Penulis
buku Tapak-tapak Perjuangan Berdirinya
Mamuju Utara, Bustan Basir Maras menjelaskan, selama dirinya melakukan
risetnya, memang muncul beberapa versi.
Namun,
dia menemukan bila setidaknya 70 persen tokoh masyarakat di Matra mengakui
Pasangkayu berasal dari kata “Vova” dan “Sanggayu”.
Masyarakat
meyakini pohonnya tumbuh di Tanjung
Pasangkayu, Kecamatan Pasangkayu, Matra. “Masih tampak kok bakau-bakaunya di
sana. Tetapi vova sanggayu sudah tidak ada,” paparnya, Kamis, 23 Maret.
Vova
sanggayu diyakini berasal dari tuturan Suku Kaili. Suku Kaili, suku yang
warganya banyak berdomisili di provinsi Sulawesi Tengah.
Dalam
Bahasa Kaili, vova itu pohon bakau dan sanggayu itu artinya satu. Sehingga bisa
diartikan sepohon bakau. Namun masyarakat Mandar menyebut dan menulis huruf V sebagai
P.
“Nah,
kelamaan disebut Vovasanggayu, Vovasanggayu..., di lidah orang Mandar disebut
Pasangkayu,” ungkapnya.
Mengapa
vova menjadi ikonnya? Konon dalam cerita rakyat, pelaut dari Kaili untuk
melintasi pantai barat Sulawesi, kerap melihat sepohon bakau yang besar.
"Ada folklornya (cerita rakyat) itu. Dan folklor selalu bisa menjadi dasar
utama. Pelaut dari Kaili kerap berteduh dan singgah di bawah pohon bakau itu,”
ujar Bustan.
Di
balik kebiasannya itu, orang-orang Kaili pun menamainya Vova Sanggayu. Namun
suku Mandar sulit menyebutkan ejaan itu.
Asal
kata itu, menurut Bustan, juga disepakati tokoh masyarakat lokal. Di antaranya
Haji Andi Ando Andi Pelang.
“Makanya kalau ada yang tanya mau ke mana, misalnya
mau ke laut Mandar dan ditanyakan di mana berhentinya, yah di sana
Vovasanggayu. Lama-lama jadi Pasangkayu. Karena memang orang Mandar sangat
sulit mengeja itu dan dalam ejaan Mandar hampir ada tidak huruf ‘V’, kita pakai
‘P’. Dan itu diterima filologi (ilmu bahasa) kita,” ungkap Bustan.
Dia
memperkirakan periode Vovasanggayu mulai familiar pada abad ke-18. “Itu terus
berlanjut, karena Belanda pun menyebut Vovasanggayu. Kalau melihat periode
Belanda jauh sebelum abad ke-18, sehingga paling sederhananya abad ke-18,” tambahnya.
Bustan
menambahkan, Pasangkayu dahulunya daerah yang tak berpenuhi. “Dia” hanya berupa
tempat bandar labuh di pinggir pantai, seperti Sunda Kelapa di Jakarta yang
banyak orang berdatangan. Orang-orang yang menemukannya lalu berkumim di sana.
Salah
satunya yang terpincut adalah orang-orang Bugis Wajo. Bugis Wajo yang melakukan
pelayaran dari timur, Bone. Masuk lewat pantai Timur Palu, lalu bergeser masuk
ke daratan.
“Menemukan
wilayah hamparan yang kosong itu, Bugis yang namanya pedagang, banyak
kawin-mawin dengan orang Kaili. Orang yang menduduki Pasangkayu itu, tidak
bugis murni, tetapi ada darah Kailinya. Mereka banyak tetap berbahasa Bugis
sampai sekarang,” ujarnya.
Sebelum
menjadi Kabupaten Matra, kata Bustan, hanya dua desa di wilayah it, yakni Desa
Pasangkayu dan Sarudu. Desa Sarudu yang dipimpin oleh Ambo Djiwa yang juga
bapak dari Bupati Matra saat ini, Agus Ambo Djiwa. Sedangkan Desa Pasangkayu
ada Lasibe.
“Dua-duanya
nama bugis,” ujarnya.
Meskipun
demikian, sebelum Pasangkayu didiami, sudah ada suku yang terlebih dahulu
disebut Tori Binggi' atau Tori Bunggu'. Mereka tetap menjadi Tori Binggi' atau
Tori Bunggu', tinggal pngunungan dalam hutan. Namun, saat ini telah banyak
menjadi kebun sawit.
“Sama
dengan New York, di sana ada Suku Indian, jauh sebelum ditemukannya daratan
Amerika itu. Kemudian, Inggris, Prancis, dan seterusnya datang menjadi orang
urban di Amerika itu. Akan tetapi, Indian tetap saja menjadi Indian, tidak
serta merta menjadi Amerika, sama dengan orang Tori Bunggu',” ungkapnya.
Selain
itu abad ke-19 para pedagang mulai ramai mengisi Pasangkayu pada zaman Belanda
dan Jepang. “Saya wawancara dengan Lasibe, saat itu masih hidup. Dia masih
sempat ikut kerja paksanya Belanda dan Jepang. Membuat jalan dari Pasangkayu ke
Palu itu,” ujarnya.
Lalu
Tori Binggi' atau Tori Bunggu' asalnya dari Pegunungan Pinembani, Sulteng. “Di
situ sebenarnya asalnya dari ada kelompok Pakava, Vivi Koro, Kulawi. Dan
sebutan Tori Binggi' itu belakangan sudah bergeser ke pesisir, dan mereka yang
bertahan ke hutan disebut Tori Bunggu',” jelasnya lagi.
Budayawan
Matra, Haji Andi Ando Andi Pelang punya versi sama. Pasangkayu berasal dari
Vovasanggayu yang artinya satu pohon. Ada yang percaya bila masih tumbuh pohon
di Pantai Pasangkayu.
Pohon
besar itu ukurannya, kata Andi Ando dari cerita yang didapatkannya, tiga kali
pegangan lingkaran orang dewasa. “Saya tidak bisa perkirakan tingginya. Pohon
itu tumbang karena termakan usia,” papar pria 73 tahun ini.
Dia
pun sepakat perubahan kabupaten dari Mamuju Utara ke Pasangkayu. Kata dia, yang
ikut berjuang memang bukan Mamuju Utara tetapi Komite Aksi Pembentukan
Kabupaten Pasangkayu.
“Itulah
yang dipimpin oleh bupati sekarang, Agus Ambo Djiwa. Jadi yang diperjuangkan
memang Pasangkayu, yang didukung oleh beberapa sesepuh,” bebernya. (*/zul)
*Terbit, 25 Maret 2017, di FAJAR
*Dipublikasikan kembali. Saat ini Mamuju Utara telah resmi menjadi Kabupaten Pasangkayu. Usulan sejak tahun 2003, sesuai sejarah perjuangan untuk mewujudkan Kabupaten Pasangkayu itu. Sejumlah tokoh tergabung dalam Komite Aksi Pembentukan Kabupaten Pasangkayu (KAPKP). Tahun 2018, dikepemimpinan Bupati Pasangkayu, Agus Ambo Djiwa lewat Gubernur Sulbar, Ali Baal Masdar, Senin 5 Maret 2018, prasasti dan bendera pataka kabupaten diserahkan.
Sekitar tahun 1750-an Pasangkayu masuk dalam kekuasaan Raja Palu bernama Panjuroro atau Pue Bongo ke 2, yang mana beliau mempunyai beberapa isteri. Isteri pertama bernama Dae Ndoe di Sarudu bersuku Kulawi, dalam buku kisah pelaut Inggris bernama David Woodward tahun 1793-1795 menyebutkan bahwa Towale sampai Cosseleur (Karossa) adalah wilayah Raja Palu bernama Toma I Genjo (Bapaknya Genjo) . Dalam catatan belanda berjudul HET LANDSCAPE BOEOOL tertulis Raja Palu bernama Panjoeroro tahun 1770, yang mana ekspansi Panjoeroro/Pue Bongo ke2 ke Buol adalah untuk membantu Raja Boul dari serangan Mindano.
BalasHapusDari pernikahan Panjoeroro/Pue Bongo ke2 dengan Dae Ndoe di Sarudu lahir 2 orang anak salah satunya bernama I Genjo atau Tiro Lembah, sejak kecil I Genjo dibawa ke Bangga dan Dolo dan ketika Genjo beranjak Dewasa dia di Nikahkan dengan Lonja Mbulava yang merupakan adik dari Raja Sigi/Dolo yaitu Lolontomene. Dari pernikahan ini lahir lah salah seorang anak bernama Yaruntasi yang mewarisi Kerajaan Bangga dan Sarudu dari Bapaknya (I Genjo/Tiro Lembah) dan mewarisi kerajaan Sigi/dolo dari Pamannya (Lolontomene) . Yaruntasi berkuasa sekitar tahun 1850-an dan beliaulah yang memberikan nama Kampung Pasangkayu.