Langsung ke konten utama

Ely Sipayo, Penjaga Suku Tanalotong


Berharap Ada Banua Batang di Kalumpang

Di Kalumpang, Sulbar, ada tanah yang subur. Seko, Wonok dan Rongkong, Sulsel menyebutnya Tanahlotong. Orang Toraja menyebutnya Makki.

ILHAM WASI
Kalumpang

Ely Sipayo
AKSES menuju ke Desa Kalumpang, Kecamatan Kalumpang, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat, cukup berat. Jalanan kategori rusak berat. Penulis berada di Kalumpang selama tiga hari, 26-28 Maret. Jarak Kota Mamuju ke Kalumpang, sekira 100 kilometer. Namun jalanan mulus hanya sampai di Salu Batu, Desa Buttuada, Kecamatan Kalukku, tepat persimpangan antara Jalan ke Kalumpang dan Jalan ke Mamasa.

Jika memilih ke Poros Kalumpang, jangan berharap menemukan jalan beton atau beraspal mulus. Jalan-jalan penuh kubangan lumpur dan air, ditambah lagi saat itu hujan usai turun. Makin sulit. 

Saya menempuhnya dengan roda dua. Jalan yang melewati belasan sungai. Kedalaman sungai cukup beragam. Di antara belasan sungai, tiga di antaranya dibanguni jembatan namun belum tuntas. Cukup menyulitkan perjalanan, tapi suguhan pemandangan pengunungan bisa menjadi obat lelah. 

Ditambah lagi, Kalumpang dikenal dengan penemuan situs-situs arkeologi yang membuktikan pintu masuk hunian penutur manusia Austronesia 3.500 tahun lalu di Sulawesi. 

Saya berangkat pukul 07.30 Wita dari Kota Mamuju tiba di Kalumpang 13.00 Wita. Di ibu kota kecamatan itulah Desa Kalumpang. Saya bertemu dengan Robert Ely Sipayo. Dia tokoh adatnya yang disebut Tobara' Lembang, ketua adat tertinggi komunitas Tanahlotong. Meskipun setiap desa ada Tobara', namun Ely Sipayo tokoh adat yang cukup dituakan. Ely menyambut di rumahnya. "Silakan, baru tiba dari Mamuju? Saya sudah lama tak ke Mamuju, sudah tak kuat,'' ujar pria berusia 74 tahun itu, kemudian menyilakan duduk. 

Tanpa basa-basi, bila ada tamu di rumahnya, Ely bakal bercerita banyak soal suku Tanahlotong. Suku mendiami kecamatan Kalumpang-Bonehau. Ely memang saat itu tak enak badan. Dia batuk, napasnya juga kerap sesak. Kami diam sejenak. "Saya minum obat dulu," ungkapnya.  

Robert Ely Sipayo kembali melanjutkan ceritanya. Sambil membawa kertas catatan yang disiapkannya jadi buku "Mengenal Budaya Suku Tanalotong di Sulawesi Barat" dan kumpulan puisi yang ditulisnya "Jalan Keabadian". ''Saya baru mem-print-nya untuk dikoreksi. Ada filenya di sana, kau bisa membawa nanti. Tapi komputernya tak bisanya menyala. Listrik dari kemarin tak bagus-bagus. Hanya ada menyalakan satu lampu saja," ungkapnya.

Ely pun melanjutkan ceritanya. Dia mengaku mulai mencari identitas Tanahlotong saat 1980-an. Dia selalu bertanya soal asal-usul daerahnya. Meskipun Kalumpang selalu dikaitkan dengan Toraja, kata Ely, Kalumpang punya komunitas tersendiri. "Apakah betul kita ini dari Toraja, atau punya identitas tersendiri?. Setelah saya melihat budaya Toraja di luar, ada perbedaan. Mulai dari situ muncul. Saya berkeliling bertanya-tanya ke orang tua di sini. Sebenarnya kita ini siapa?," ujarnya.

Ely pun banyak belajar kembali ketika pada 26 Januari 2008, ada seminar Dinas Pariwisata Provinsi Sulbar di ruang pola Kantor Kecamatan Kalumpang. Dirinya didaulat jadi pemetari makalah. Di situ juga pertemuan klan-klan sewilayah Tanahlotong yakni untuk teritori Karama, Karataun, Bonehau, dan Kalumpang ditetapkan namanya jadi Tanahlotong. Selain itu, usai pertemuan juga kata Ely, dikukuhkan lembaga adat Tanahlotong pada 31 Oktober 2008 oleh Bupati Mamuju ketika itu. 

Tanahlotong itu pun melingkupi Karama, Karataun Bonehau, Kalumpang, Sandana Leling di Kecamatan Tommo', Kallan-Taloang Kecamatan Tabulahan Kabupaten Mamasa, serta Tamalekkong, Tamemongga, Pedasi dan Kaloding di Kecamatan Sempaga.  

"Saat itu saya membuat makalah. Saya kembali bertanya-tanya ke orang tua dulu. Mengumpulkan ceritanya. Meskipun sudah ada yang meninggal, tapi saya masih ingat dan tinggal beberapa orang. Ada yang tentang, kenapa mengapa harus begini-begini. Saya pun berikan alasan mereka semua berterima dan sepakat," ungkapnya.  

Tanahlotong sendiri kata Ely memang sebutan orang Seko, Wonok serta Rongkong di Luwu Utara, Sulsel. Daerah yang berbatasan Sulbar. Mereka kerap menyebut daerah sebelahnya, yakni Kalumpang dan sekitarnya sebagai To Tanahlotong atau orang dari Tanahlotong. Tanahlotong disebutkan sebab tanah yang cukup subur. Mereka memang kerap membutuhkan bahan makanan pasti ke Tanahlotong. ''Kehidupan masyarakat sini sudah berswasembada pangan, bahkan sudah bisa menenun sendiri, yang disebut tenun ikat Sekomandi itu, dan juga punya tatanan budaya tersendiri,'' paparnya. 

Sebenarnya ada sebutan lain bagi masyarakat Kalumpang yakni To Makki atau orang Makki. Sebutan dari orang Toraja yang berbatasan dengan Kalumpang. Nama itu sebenarnya dari nama sungai di perbatasan Kalumpang-Toraja. Perbedaan-perbedaan lainnya, kata Ely, baju adat yang sebut Bei dan rumah Banua Batang. Selain itu, tenun Sekomandi juga dimiliki Kalumpang. "Toraja kan beda, mereka punya rumah adat Tongkonan. Kita punya Banua Batang. Meskipun saat ini rumah adat Banua Batang sudah tidak ada lagi, sebab orang Kalumpang pernah mengungsi sama gerombolan. Habis dibakar," ungkapnya. 

Selain itu kata Ely, juga sebagian budaya Tanahlotong sebenarnya masih terjaga. Kehadiran Tobara' setiap desa membuat adat masih kental. Bila ada persoalan, maka biasanya akan diserahkan pada hukum adat. Tobara'lah yang menyelesaikannya. Namanya ada' tuona to Tanahlotong. Dari situ berkembang menjadi tradisi Seda. Seda biasanya dilakukan bila ada adat yang dilanggar. Misalnya seorang pria menghamili wanita tanpa proses perkawinan. Maka diketahui, maka dewan adat yang dipimpin Tobara' akan menyidangkan. 

Meskipun demikian, Ely selalu khawatir dengan sejarah Kalumpang dan situs-situsnya. Ketakutannya, bila tak ada generasi muda yang mau mempelajari dan menggali sendiri daerah Tanalotong. ''Saya selalu berharap, ada anak-anak di sini, bisa mengambil jurusan arkeologi di perguruan tinggi, agar bisa menggali situs-situs purbakala Tanahlotong," urainya. 

Dia juga kerap berharap, rumah adat Banua Batang dibangun di Kalumpang. Agar Tanahlotong punya identitas tersendiri. "Karena untuk membangunnya membutuhkan biaya besar. Kalau saya hitung-hitung Rp600 juta. Dan saya yakin jarang sekali melihat. Karena saya saja waktu kecil, terakhir ikut membantu membuat Banua Batang. Sekarang sudah tak ada lagi,'' ungkapnya. (*/asw)

publikasi 3 April 2017, di Harian FAJAR.




puisi Ely Sipayo




Komentar

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Wah legend. Saya pernah dengar ttg ini sekilas dari teman di Mamuju, Wira.. Hhe

    BalasHapus
  3. Orang Kalumpang adalah salah satu sub suku Toraja.

    Ini faktanya ilmiahnya, bukan cerita rakyat

    https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Toraja#Bahasa

    BalasHapus
  4. Kalumpang adalah toraya..toraya itu luas,bukan hanya yang mendiami Tana toraja dan Toraja Utara saja, melainkan Mamasa, Kalumpang,Seko lemo,bastem, rongkong.Semua itu adalah sangtorayaan..

    BalasHapus
  5. Bahasanya banyak sama dengan bahasa Toraja

    BalasHapus
  6. Menurut cerita kakek saya, ada nenek moyang kami asalnya dari seko.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Musik Tradisi "Passayang-sayang" dari Mandar

MUSIK TRADISI. Pemain Pasayang- sayang  diacara peresmian Pusat Kajian Kebudayaan di Universitas Sulawesi Barat, Rabu 29 April. Musik tradisi ini telah tercatat sebagai warisan budaya tak benda di Indonesia . Tahan Tuturkan Kisah "Siamasei" Berjam-jam   Musik tradisional passayang-sayang dimainkan sebagai hiburan rakyat. Berisi ungkapan hati dan pemain passayang-sayang ini pun miliki cara agar penonton tahan berjam-jam lamanya. ILHAM WASI Majene Ketika gitar dipetik, melodi mengalir merdu. Petikan melodi Dahlan pun membui penonton. Irama melodi dipadukan dengan gitar bas yang dimainkan Abd Hamid. Giliran Zakaria dan Sinar melantunkan lirik lagu passayang-payang bergantian. Keduanya, masyarakat Mandar menyebutnya sebagai pakelong (penyanyi).  Mereka semua masih dalam satu grup musik tradisional dari Tiga Ria Tinambun yang berasal di Kecamatan Tinambung Polman. Tugas mereka sebagai orang-orang pelestari seni musik tradisional passayang- sayang  Ma

Kisah di Balik Nama Pasangkayu, dari Tutur Suku Kaili: Vova Sanggayu

Pemkab Mamuju Utara sedang mengupayakan perubahan nama menjadi Kabupaten Pasangkayu. Lalu, dari mana asal nama itu? ILHAM WASI Pasangkayu diyakini sebagai tempat pohon Vova Sanggayu/ist IBU kota Mamuju Utara (Matra) adalah Pasangkayu. Itulah yang diusulkan menjadi nama kabupaten. Agar ada yang khas, tidak lagi dianggap mirip dengan Mamuju, ibu kota provinsi Sulawesi Barat. Nama Pasangkayu punya kisah. Konon diambil dari nama sebuah pohon besar. Cerita yang sudah melegenda. Penulis buku Tapak-tapak Perjuangan Berdirinya Mamuju Utara , Bustan Basir Maras menjelaskan, selama dirinya melakukan risetnya, memang muncul beberapa versi. Namun, dia menemukan bila setidaknya 70 persen tokoh masyarakat di Matra mengakui Pasangkayu berasal dari kata “Vova” dan “Sanggayu”. Masyarakat meyakini pohonnya tumbuh   di Tanjung Pasangkayu, Kecamatan Pasangkayu, Matra. “Masih tampak kok bakau-bakaunya di sana. Tetapi vova sanggayu sudah tidak ada,” paparnya, Kamis, 23 Maret. Vova

Jejak Imam Lapeo, KH Muhammad Thahir (1)

Makam Imam Lapeo, di Mandar    Imam Lapeo, KH Muhammad Thahir Tak Pernah Putus dari Peziarah Di masjid Imam Lapeo atau dikenal masjid Nurut Taubah Lapeo. Letak masjidnya berada di Desa Lapeo Kecamatan Campalagian Kabupaten Polewali Mandar. Tak sulit mendapati masjid itu sebab berada di pinggir jalan Poros Polman-Majene, Sulbar. ILHAM WASI Campalagian Usai salat Dhuhur di masjid Imam Lapeo, Rabu 17 Juni. Saya tak langsung pulang, sebab ingin tahu banyak soal masjid tertua di tanah Mandar ini. Di Lapeo ini juga telah ditetapkan kawasan wisata religi. Empat orang sedang melingkar. Saya menyapanya, mereka para pengurus masjid imam Lapeo. Saat ditanyai soal kisah Imam Lapeo, seorang menunjuk papan informasi letaknya di sebelah kanan saf paling depan.  "Kisah Imam Lapeo ada di sana." kata salah satu pengurus Sumardin Kama menunjukkannya pada saya. Di situlah berisi riwayat singkat perjalanan hidup KH Muhammad Thahir Imam Lapeo (1839- 1952). "Sengaja pen