Tradisi Tenun Ikat dari Kalumpang
Begitulah dia terus mengulangnya hingga nanti tenun sepanjang 5 meter dan lebar 80 centimeter bisa tuntas. Motifnya, kata Megawati ada sekomendi tonoling dan ulukarua barinni. Namun soal artinya, dia tak paham. Dia bilang motifnya sudah sejak dahulu. Dia memang belajar secara otodidak.
Untuk menyelesaikan satu kain tenun ikat, dia mengerjakannya satu hingga dua bulan lamanya. Harganya pun bisa mencapai Rp1,5 juta rupiah. Beda bila berupa selendang, hanya dijual ratusan ribu rupiah. Pengerjaannya pun singkat. Sepekan.
Dinamai tenun ikat sebab untuk menciptakan motifnya lebih dahulu motifnya diikat sebelum diwarnai. Beda dengan tenun biasanya dimiliki Mandar. Motif tercipta saat menenun.
Tahapannya, misalnya, kain tenun warna hitam dengan motif warna putih. Maka lebih dahulu motif warna putih itu diikat. Pengikat yang biasa digunakan, tali rapiah. Ikatannya pun harus kuat, agar saat direndam warna hitam, tidak bercampur. Jika sudah kering, tali rapiah itu dibuka, maka muncullah warna putih tadi. Dan bakal tambah rumit, kalau banyak motif, sebab membutuhkan sejumlah ikatan.
Nah,
begitu di Desa Karataung, penenun sekomandi memang jauh lebih banyak. Hampir di
setiap rumah, perempuan-perempuan melakukan aktivitas menenun.
Di rumah Sekretaris Desa Karataung, Martin Luter pun ada yang menenun. “Hampir semua menenun di sini,” ungkapnya. Istri Martin, Mery, mahir menenun. Mery juga membuat motif tonoling.
“Saya diajar mengikat benang dulu. Di situ kita belajar, yang jelas susah semuanya. Tetapi kami diajar sampai bisa. Belajar juga mencelupkan benang, mewarnai, hingga menenun dan mahir,” ungkap perempuan 50 tahun ini.
Dorce, tetangga Mery, juga mengaku belajar dari orang tuannya. Diwariskan secara turun temurun. Makanya, anaknya, Yuli, yang masih 13 tahun pun sudah mulai dilatih. “Pasti kita ajar anak,” ucap Dorce. Perempuan-perempuan di Kalampuan tak membiarkan sekomandi ditelan zaman. (*/zul)
sekomandi tonoling/dok ilham |
Masyarakat
Kalumpang di Mamuju punya tradisi tenun yang masih dilestarikan. Sekomandi
namanya.
ILHAM
WASI
Mamuju
KALUMPANG itu sebuah kecamatan. Dari pusat Kalumpang ke Desa Karataung –tempat pengembangan sekomandi, jaraknya 17 kilometer. Jalanan rusak berat. Sungai-sungai kecil akan dilewati.
Mamuju
KALUMPANG itu sebuah kecamatan. Dari pusat Kalumpang ke Desa Karataung –tempat pengembangan sekomandi, jaraknya 17 kilometer. Jalanan rusak berat. Sungai-sungai kecil akan dilewati.
Sebelum
Karataung, saya mesti melewati Desa Kondobulo. Penenun sekomandi juga bisa bisa
ditemui di situ. Bertanya ke penduduk, saya ditujukan ke rumah Megawati. Perempuan
40 tahun yang pagi itu sedang beristrihat, maklum hari libur, Minggu, 27 Maret
lalu.
Akan
tetapi, Megawati tetap menyambut hangat. Megawati
mengambil tenunnya. Diikatnya pada jendela. Dia pun memasang alat tenun dengan
jepit perut dan pinggangnya. Kedua tangannya mulai memaikan benang dan balida
perekat benang hingga menghasilkan bunyi tak-tak-tak. Satu benang
dirapatkannya.
Begitulah dia terus mengulangnya hingga nanti tenun sepanjang 5 meter dan lebar 80 centimeter bisa tuntas. Motifnya, kata Megawati ada sekomendi tonoling dan ulukarua barinni. Namun soal artinya, dia tak paham. Dia bilang motifnya sudah sejak dahulu. Dia memang belajar secara otodidak.
“Saya
dari orang tua saja, usia saya saat itu masih 17 tahun. Tetapi kalau anak
sekarang belum tahu, tak mau duduk lama,” ungkap ibu dua anak ini.
Untuk menyelesaikan satu kain tenun ikat, dia mengerjakannya satu hingga dua bulan lamanya. Harganya pun bisa mencapai Rp1,5 juta rupiah. Beda bila berupa selendang, hanya dijual ratusan ribu rupiah. Pengerjaannya pun singkat. Sepekan.
ikatan/dok ilham |
Tahapannya, misalnya, kain tenun warna hitam dengan motif warna putih. Maka lebih dahulu motif warna putih itu diikat. Pengikat yang biasa digunakan, tali rapiah. Ikatannya pun harus kuat, agar saat direndam warna hitam, tidak bercampur. Jika sudah kering, tali rapiah itu dibuka, maka muncullah warna putih tadi. Dan bakal tambah rumit, kalau banyak motif, sebab membutuhkan sejumlah ikatan.
Soal pewarna, ada yang unik dalam menghasilkan kain tenun ikat itu. Jika ingin menghasilkan
warna merah, maka dihasilkan dari cabai, mengkudu, dan sejumlah campuran lainnya.
Sedangkan, untuk warna hitam, biasanya menggunakan lumpur. Di halaman rumah, Megawati, terdapat sebuah kubangan. Di situlah tempat merendam tenun ikat marilotong, makanya, dari semua motif yang hasilkan, tenun ikat marilotong menjadi istimewa. Tenun sekomandi itu untuk memperoleh warna hitamnya akan direndam dalam lumpur hingga menghasilkan warna sempurna.
Begitu pun dengan menghasilkan warna kuning, biasanya menggunakan kunyit. Yah, semua pewarna alami. Meskipun sebenarnya, mereka juga tetap mengenal pewarna. Tetapi, mereka menyesuaikan dengan permintaan. Jika menggunakan pewarna alami, maka proses pembuatannya lebih lama, sedangkan pewarna kimia bisa lebih cepat. Tapi, dengan pewarna alami dan pewarna kimia beda harga. Sisa memilihnya.
Begitu pun dengan menghasilkan warna kuning, biasanya menggunakan kunyit. Yah, semua pewarna alami. Meskipun sebenarnya, mereka juga tetap mengenal pewarna. Tetapi, mereka menyesuaikan dengan permintaan. Jika menggunakan pewarna alami, maka proses pembuatannya lebih lama, sedangkan pewarna kimia bisa lebih cepat. Tapi, dengan pewarna alami dan pewarna kimia beda harga. Sisa memilihnya.
marilotong/dok ilham |
Di rumah Sekretaris Desa Karataung, Martin Luter pun ada yang menenun. “Hampir semua menenun di sini,” ungkapnya. Istri Martin, Mery, mahir menenun. Mery juga membuat motif tonoling.
Mery
bilang saat berusia 20 tahun dia sudah belajar menenun. Ibunya tak langsung
meminta menenun. Akan tetapi, secara bertahap. Awalnya diajak mengikat untuk
menciptakan motif, lalu mewarnai, kemudian menenun.
“Saya diajar mengikat benang dulu. Di situ kita belajar, yang jelas susah semuanya. Tetapi kami diajar sampai bisa. Belajar juga mencelupkan benang, mewarnai, hingga menenun dan mahir,” ungkap perempuan 50 tahun ini.
Dorce, tetangga Mery, juga mengaku belajar dari orang tuannya. Diwariskan secara turun temurun. Makanya, anaknya, Yuli, yang masih 13 tahun pun sudah mulai dilatih. “Pasti kita ajar anak,” ucap Dorce. Perempuan-perempuan di Kalampuan tak membiarkan sekomandi ditelan zaman. (*/zul)
31 Maret 2017, terbit di FAJAR
numpang promo yah....
BalasHapusguys, sekomandi bisa beli di sini yah:
https://todi.co.id/id/tenun-tradisional/tenun-sekomandi
makasih...