Langsung ke konten utama

Sekomandi: Warna Merah dari Cabai, Hitam karena Direndam Lumpur

Tradisi Tenun Ikat dari Kalumpang

sekomandi tonoling/dok ilham
Masyarakat Kalumpang di Mamuju punya tradisi tenun yang masih dilestarikan. Sekomandi namanya.

ILHAM WASI
Mamuju

KALUMPANG itu sebuah kecamatan. Dari pusat Kalumpang ke Desa Karataung –tempat pengembangan sekomandi, jaraknya 17 kilometer. Jalanan rusak berat. Sungai-sungai kecil akan dilewati.

Sebelum Karataung, saya mesti melewati Desa Kondobulo. Penenun sekomandi juga bisa bisa ditemui di situ. Bertanya ke penduduk, saya ditujukan ke rumah Megawati. Perempuan 40 tahun yang pagi itu sedang beristrihat, maklum hari libur, Minggu, 27 Maret lalu.

Akan tetapi, Megawati tetap menyambut hangat. Megawati mengambil tenunnya. Diikatnya pada jendela. Dia pun memasang alat tenun dengan jepit perut dan pinggangnya. Kedua tangannya mulai memaikan benang dan balida perekat benang hingga menghasilkan bunyi tak-tak-tak. Satu benang dirapatkannya.

Begitulah dia terus mengulangnya hingga nanti tenun sepanjang 5 meter dan lebar 80 centimeter bisa tuntas. Motifnya, kata Megawati ada sekomendi tonoling dan ulukarua barinni. Namun soal artinya, dia tak paham. Dia bilang motifnya sudah sejak dahulu. Dia memang belajar secara otodidak.
“Saya dari orang tua saja, usia saya saat itu masih 17 tahun. Tetapi kalau anak sekarang belum tahu, tak mau duduk lama,” ungkap  ibu dua anak ini.

Untuk menyelesaikan satu kain tenun ikat, dia mengerjakannya satu hingga dua bulan lamanya. Harganya pun bisa mencapai Rp1,5 juta rupiah. Beda bila berupa selendang, hanya dijual ratusan ribu rupiah. Pengerjaannya pun singkat. Sepekan.


ikatan/dok ilham
Dinamai tenun ikat sebab untuk menciptakan motifnya lebih dahulu motifnya diikat sebelum diwarnai. Beda dengan tenun biasanya dimiliki Mandar. Motif tercipta saat menenun. 

Tahapannya, misalnya, kain tenun warna hitam dengan motif warna putih. Maka lebih dahulu motif warna putih itu diikat. Pengikat yang biasa digunakan, tali rapiah. Ikatannya pun harus kuat, agar saat direndam warna hitam, tidak bercampur. Jika sudah kering, tali rapiah itu dibuka, maka muncullah warna putih tadi. Dan bakal tambah rumit, kalau banyak motif, sebab membutuhkan sejumlah ikatan.

Soal pewarna, ada yang unik dalam menghasilkan kain tenun ikat itu. Jika ingin menghasilkan warna merah, maka dihasilkan dari cabai, mengkudu, dan sejumlah campuran lainnya. Sedangkan, untuk warna hitam, biasanya menggunakan lumpur. Di halaman rumah, Megawati, terdapat sebuah kubangan. Di situlah tempat merendam tenun ikat marilotong, makanya, dari semua motif yang hasilkan, tenun ikat marilotong menjadi istimewa. Tenun sekomandi itu untuk memperoleh warna hitamnya akan direndam dalam lumpur hingga menghasilkan warna sempurna. 

Begitu pun dengan menghasilkan warna kuning, biasanya menggunakan kunyit. Yah, semua pewarna alami. Meskipun sebenarnya, mereka juga tetap mengenal pewarna. Tetapi, mereka menyesuaikan dengan permintaan. Jika menggunakan pewarna alami, maka proses pembuatannya lebih lama, sedangkan pewarna kimia bisa lebih cepat. Tapi, dengan pewarna alami dan pewarna kimia beda harga. Sisa memilihnya. 

marilotong/dok ilham
Nah, begitu di Desa Karataung, penenun sekomandi memang jauh lebih banyak. Hampir di setiap rumah, perempuan-perempuan melakukan aktivitas menenun.

Di rumah Sekretaris Desa Karataung, Martin Luter pun ada yang menenun. “Hampir semua menenun di sini,” ungkapnya. Istri Martin, Mery, mahir menenun. Mery juga membuat motif tonoling.


Mery bilang saat berusia 20 tahun dia sudah belajar menenun. Ibunya tak langsung meminta menenun. Akan tetapi, secara bertahap.  Awalnya diajak mengikat untuk menciptakan motif, lalu mewarnai, kemudian menenun.

“Saya diajar mengikat benang dulu. Di situ kita belajar, yang jelas susah semuanya. Tetapi kami diajar sampai bisa. Belajar juga mencelupkan benang, mewarnai, hingga menenun dan mahir,” ungkap perempuan 50 tahun ini.

Dorce, tetangga Mery, juga mengaku belajar dari orang tuannya. Diwariskan secara turun temurun. Makanya, anaknya, Yuli, yang masih 13 tahun pun sudah mulai dilatih. “Pasti kita ajar anak,” ucap Dorce. Perempuan-perempuan di Kalampuan tak membiarkan sekomandi ditelan zaman. (*/zul)

31 Maret 2017, terbit di FAJAR

Komentar

  1. numpang promo yah....

    guys, sekomandi bisa beli di sini yah:
    https://todi.co.id/id/tenun-tradisional/tenun-sekomandi

    makasih...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Musik Tradisi "Passayang-sayang" dari Mandar

MUSIK TRADISI. Pemain Pasayang- sayang  diacara peresmian Pusat Kajian Kebudayaan di Universitas Sulawesi Barat, Rabu 29 April. Musik tradisi ini telah tercatat sebagai warisan budaya tak benda di Indonesia . Tahan Tuturkan Kisah "Siamasei" Berjam-jam   Musik tradisional passayang-sayang dimainkan sebagai hiburan rakyat. Berisi ungkapan hati dan pemain passayang-sayang ini pun miliki cara agar penonton tahan berjam-jam lamanya. ILHAM WASI Majene Ketika gitar dipetik, melodi mengalir merdu. Petikan melodi Dahlan pun membui penonton. Irama melodi dipadukan dengan gitar bas yang dimainkan Abd Hamid. Giliran Zakaria dan Sinar melantunkan lirik lagu passayang-payang bergantian. Keduanya, masyarakat Mandar menyebutnya sebagai pakelong (penyanyi).  Mereka semua masih dalam satu grup musik tradisional dari Tiga Ria Tinambun yang berasal di Kecamatan Tinambung Polman. Tugas mereka sebagai orang-orang pelestari seni musik tradisional passayang- sayang  Ma

Kisah di Balik Nama Pasangkayu, dari Tutur Suku Kaili: Vova Sanggayu

Pemkab Mamuju Utara sedang mengupayakan perubahan nama menjadi Kabupaten Pasangkayu. Lalu, dari mana asal nama itu? ILHAM WASI Pasangkayu diyakini sebagai tempat pohon Vova Sanggayu/ist IBU kota Mamuju Utara (Matra) adalah Pasangkayu. Itulah yang diusulkan menjadi nama kabupaten. Agar ada yang khas, tidak lagi dianggap mirip dengan Mamuju, ibu kota provinsi Sulawesi Barat. Nama Pasangkayu punya kisah. Konon diambil dari nama sebuah pohon besar. Cerita yang sudah melegenda. Penulis buku Tapak-tapak Perjuangan Berdirinya Mamuju Utara , Bustan Basir Maras menjelaskan, selama dirinya melakukan risetnya, memang muncul beberapa versi. Namun, dia menemukan bila setidaknya 70 persen tokoh masyarakat di Matra mengakui Pasangkayu berasal dari kata “Vova” dan “Sanggayu”. Masyarakat meyakini pohonnya tumbuh   di Tanjung Pasangkayu, Kecamatan Pasangkayu, Matra. “Masih tampak kok bakau-bakaunya di sana. Tetapi vova sanggayu sudah tidak ada,” paparnya, Kamis, 23 Maret. Vova

Jejak Imam Lapeo, KH Muhammad Thahir (1)

Makam Imam Lapeo, di Mandar    Imam Lapeo, KH Muhammad Thahir Tak Pernah Putus dari Peziarah Di masjid Imam Lapeo atau dikenal masjid Nurut Taubah Lapeo. Letak masjidnya berada di Desa Lapeo Kecamatan Campalagian Kabupaten Polewali Mandar. Tak sulit mendapati masjid itu sebab berada di pinggir jalan Poros Polman-Majene, Sulbar. ILHAM WASI Campalagian Usai salat Dhuhur di masjid Imam Lapeo, Rabu 17 Juni. Saya tak langsung pulang, sebab ingin tahu banyak soal masjid tertua di tanah Mandar ini. Di Lapeo ini juga telah ditetapkan kawasan wisata religi. Empat orang sedang melingkar. Saya menyapanya, mereka para pengurus masjid imam Lapeo. Saat ditanyai soal kisah Imam Lapeo, seorang menunjuk papan informasi letaknya di sebelah kanan saf paling depan.  "Kisah Imam Lapeo ada di sana." kata salah satu pengurus Sumardin Kama menunjukkannya pada saya. Di situlah berisi riwayat singkat perjalanan hidup KH Muhammad Thahir Imam Lapeo (1839- 1952). "Sengaja pen