Melihat Pertunjukan Teater “Presiden Kita
Tercinta” (1)
Presiden
Hilang, Jasadnya belum Ditemukan
Jika Presiden
Kita Tercinta hilang. Kepanikan akan melanda negeri. Perebutan kekuasaan
terjadi. Siapa yang bakal menggantikannya?
Ilham
Wasi
Danau
Unhas
Penulis tiba pukul 19.45 Wita di Pelataran
IPTEKS. Tampak para penonton sudah mengisi buku daftar tamu di meja registrasi
dan penulis pun mengisinya diurutan tujuh puluh. Dua orang perempuan yang
berjaga menunjukkan jalur masuk.
Di dekat meja itu, berdiri banner disorot
lighting berwarna merah dan hijau, terbaca Produksi Karya Karakter 2014, Teater
Kampus Unhas mempersembahkan “Presiden Kita Tercinta” karya Agus Noer, Sutradara
Ismail Yakub Makkutana.
Jalur masuk dibuat seperti lorong
dengan tirai hitam membentang sekira lima meter. Nyala lilin menerangi jalan
untuk menuntun. Makmul gelap, tak ada sinar bulan di malam 28 April ini.
Para penonton sudah duduk pada
tangga-tangga, menghadap ke panggung. Penulis mengamati sekitar, “sunyi” bukan
berarti tidak ada penonton. Sebab, penonton sekira hampir ratusan duduk tenang.
Bisa dibayangkan mereka sedang berpikir “adegan apa lagi yang akan di
tontonnya”.
Gendang Makassar telah ditabuh, saya
mengenali bunyinya “Tunrung pakanjara”. Lima penari paddupa masuk memberi penyambutan pada
tamu yang hadir. Lampu dinyalakan, terang menyorot ke panggung.
Di panggung berdiri tiga batang
bambu menyilang terikat berbentuk piramid. Tingginya sekira sepuluh meter. Piramid
itu punya sayap setengah lingkaran, punya tujuh tangga. Namun, untuk sampai
kepuncak jika diamati masih ada dua tingkat lagi. Menyerupai, konsep rumah
panggung suku Bugis-Makassar (wilayah atas, tengah, dan bawah). Tetapi, bila
dikontekskan dengan pertunjukannya disimbolkan gedung parlemen.
Panggung kembali gelap, prolog
dibacakan “Orang akan melihat gerak dari bayang-bayang, tetapi lupa yang
menggerakkanya. Padahal kitalah yang memainkannya, itulah mengapa jagoan tembak
bisa menembak lebih cepat dari bayanganya. Ilusi bayangan, kita mesti menciptakannya”.
Cahaya merah mulai meroyot pada
menara, aktor-aktor masuk. Sempat juga memberi kagetan para penonton, sebab aktor datang dari arah penonton. “Ih.!”
Suara perempuan di samping saya dengan nada keheranan. Saya berpikir mungkin
penonton tadi membayangkan para aktor muncul dari arah belakang panggung.
Aktor-aktor merayap ke atas menara.
Sebut saja menara itu “Gedung Parlemen”. Enam aktor berdialog. Mereka
mempertanyakan sebab diadakannya rapat mendadak olek sang Kolonel.
Terjadi kekosongan pemimpin.
Presiden hilang, jasadnya belum ditemukan. Mengundang kepanikan di semua
elemen. Terutama perdebatan pada di gedung parlemen. Siapa yang membunuh tuan
Presiden. Kolonel menduga ada di antara mereka ada yang berkhianat. “menurut
informasi badan intelejen, yang kebetulan di bawah komando saya. Tuan presiden
mati di tembak oleh apa yang disebut konspirasi para Jendral,” tutur sang
kolonel.
Saling curiga satu sama lain, terus
tercipta. Kecurigaan muncul para salah satu senator. “Terasa benar, anda telah
merancang sesuatu kolonel,”.
Tetapi, lewat perdebatan yang cukup
panjang maka sang kolonel ingin menguasai sendiri jabatan itu. Ancaman dialamatkan pada senator lain dengan
ingin menggerakkan militer.
Keberpihakan pada mulai muncul, para
senator mulai merapat kepadanya. Terutama hakim tinggi konstitusi. “Secara
konstitusi presiden telah mati” ungkap Senator
Nyonya Pitaya.
Kekacauan terjadi, gugatan mengalir
dari para senator dan para demostran. Tidak berterima jika sang kolonel langsung
memimpin. Strategi terus di cari agar beralih padanya. Akhirnya, tampuk
kepemimpinan kosong , kedudukan presiden belum terisi. Siapa yang bakal
mengisinya?. (*)
Komentar
Posting Komentar