Langsung ke konten utama

Ketika Nasihat “Pappaseng” di Kaligrafi

*) Dari Pameran Tunggal Lukisan Kaligrafi Abd Aziz Ahmad

Ketika Nasihat “Pappaseng” di Kaligrafi

Momen bulan suci ramadan juga di manfaatkan untuk menyiarkan ajaran Islam. Menyampaikan nasihat ketaqwaan, bisa dikemas ke dalam seni rupa Kaligrafi, dengan menambah unsur tradisi “Pappaseng,”.

Ilham Wasi
Anjungan Toraja-Mandar

Lengkaplah kota Makassar. Kota yang ditumbuhi oleh pemikir-pemikir Intelektual. Abd Aziz Ahmad, salah satu perupa Makassar, yang memikirkannya. Pemikiran itu dituangkan dalam bentuk kaligrafi yang di pamerkan secara tunggal, di Ruang Seni Rupa Anjungan Mandar-Toraja, 26 Juni-10 Juli mendatang.
Sebanyak 101 karya lukisan kaligrafi menempel di dinding ruang seni rupa. Karya ide dan sentuhan tangan kreatif Aziz, yang dibuatnya sejak tahun 2008 hingga 2014 di pamerkan secara tunggal. “Kebanyakan saya memulai melukisnya, waktu tenang sesudah salat subuh atau memanfaatkan waktu luang atau liburnya,” ungkap pemilik karya Aziz pada FAJAR, 26 Juni.
            Bakat itu muncul secara alamiah. Ketika masih duduk di Sekolah Dasar 137 Atapange Wajo. Saat itu Aziz duduk kelas 5. Di kelasnya diberi tugas untuk menulis “Tulisan Indah”, saat itu Sauk sang guru, melihat tugas yang diberikan. Karya itu pun diperlihatkan ke semua teman kelasnya. Waktu itulah, kepercayaan dirinya tumbuh, sebab karyanya di pamerkan dikelas, dan diberi apresiasi oleh sang guru.
Peristiwa di kelas itu membekas dibenaknya. Hingga, bakat itu diasahnya. Makanya, dia memilih melanjutkan pendidikan di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta tahun 1980, dan lulus tahun 1985. Namun, rasa puas untuk berkarya tidak ISI, tidak cukup. Aziz belum menemukan kebebasan saat berkarya. Oleh sebab itu, setelah lulus memilih untuk menciptakan cirri khas pada pemikiran dan karya seni rupanya. “Banyak tugas kampus harus dikerja, tetapi di suruh meniru kuda, harimau, harus persis sama, tidak ada kebebasan,” tutur dosen Seni Rupa Universitas Negeri Makassar ini.
Kekuatan imajinasi, dan menciptakan tokoh-tokoh atau karakter ke dalam karyanya. “Saya tidak mau terikat lagi dengan konsep yang ada, harus ada kebebasan. Namanya, karya surealis,” tutur lelaki berjaket kulit ini.
Selain itu, Aziz mengatakan, bukan cat minyak untuk merupa, tetapi memakai pulpen, dengan rotring tinta cina, agar tintanya tidak merembes. “Flaura dan fauna, sebagai arti kiasan, juga ada karakter ramah, buas, dan di tuliskan ayat-ayat, atau pappaseng bugis,” tutur lelaki kelahiran Wajo ini.
Kaligrafi baginya, memberi kesan agar menarik. Lewat dari karya itu, bisa member kesan yang berarti. “Ada pesan-pesan meng-Esa-kan Tuhan, juga rasa syukur dan memberi motivasi agar dapat berkerja keras,” imbuhnya.
Aziz berbagi soal lukisannya.  Lukisan yang paling besar berukuran 175 cm x 92 cm. lukisan itu di namai Al Hikmah. Al Hikmah ini, memang lebih besar dari yang lainnya, kebanyakan hanya berukuran A3, A4, Al Hikmah lebih besar. Menurut Aziz, Al Hikmah mempunyai arti tersendiri. “Mereka yang diberikan nikmat, kebijakan, ilmu pengetahuan untuk dimanfaatkan pada hal kebajikan,” pesan Aziz menafsir karyanya.
Selain itu, Aziz menggunakan pesan bugis “Pappaseng”. Di antaranya, kaligrafi yang didominasi berwarna hitam putih itu beri pappaseng orang tua. “Dua mi ku ala sappo, unganna panasae, belo kanukue, (Hanya dua untuk dijadikan saudara atau prinsip. Antara Lempu atau jujur, atau Suci,” ujarnya menafsirkan karyanya.
 Pappaseng lain yang diutarakan, “Aja mualai narekko tania anummu, artinya jangan sekali-kali mengambil kalau bukan milikmu," sebutnya menerjamahkankarya lainnya. Karya yang diciptakan pun, tak luput dari belajar, membaca ayat, dan memahami secara baik apa yang di ciptakannya. “Tidak hanya berfikir estetikanya saja, tetapi menyangkut kebenaran tulisan yang harus di uji,” tandas lelaki kelahiran Wajo, 4 april 1955. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Musik Tradisi "Passayang-sayang" dari Mandar

MUSIK TRADISI. Pemain Pasayang- sayang  diacara peresmian Pusat Kajian Kebudayaan di Universitas Sulawesi Barat, Rabu 29 April. Musik tradisi ini telah tercatat sebagai warisan budaya tak benda di Indonesia . Tahan Tuturkan Kisah "Siamasei" Berjam-jam   Musik tradisional passayang-sayang dimainkan sebagai hiburan rakyat. Berisi ungkapan hati dan pemain passayang-sayang ini pun miliki cara agar penonton tahan berjam-jam lamanya. ILHAM WASI Majene Ketika gitar dipetik, melodi mengalir merdu. Petikan melodi Dahlan pun membui penonton. Irama melodi dipadukan dengan gitar bas yang dimainkan Abd Hamid. Giliran Zakaria dan Sinar melantunkan lirik lagu passayang-payang bergantian. Keduanya, masyarakat Mandar menyebutnya sebagai pakelong (penyanyi).  Mereka semua masih dalam satu grup musik tradisional dari Tiga Ria Tinambun yang berasal di Kecamatan Tinambung Polman. Tugas mereka sebagai orang-orang pelestari seni musik tradisional passayang- sayang  Ma

Kisah di Balik Nama Pasangkayu, dari Tutur Suku Kaili: Vova Sanggayu

Pemkab Mamuju Utara sedang mengupayakan perubahan nama menjadi Kabupaten Pasangkayu. Lalu, dari mana asal nama itu? ILHAM WASI Pasangkayu diyakini sebagai tempat pohon Vova Sanggayu/ist IBU kota Mamuju Utara (Matra) adalah Pasangkayu. Itulah yang diusulkan menjadi nama kabupaten. Agar ada yang khas, tidak lagi dianggap mirip dengan Mamuju, ibu kota provinsi Sulawesi Barat. Nama Pasangkayu punya kisah. Konon diambil dari nama sebuah pohon besar. Cerita yang sudah melegenda. Penulis buku Tapak-tapak Perjuangan Berdirinya Mamuju Utara , Bustan Basir Maras menjelaskan, selama dirinya melakukan risetnya, memang muncul beberapa versi. Namun, dia menemukan bila setidaknya 70 persen tokoh masyarakat di Matra mengakui Pasangkayu berasal dari kata “Vova” dan “Sanggayu”. Masyarakat meyakini pohonnya tumbuh   di Tanjung Pasangkayu, Kecamatan Pasangkayu, Matra. “Masih tampak kok bakau-bakaunya di sana. Tetapi vova sanggayu sudah tidak ada,” paparnya, Kamis, 23 Maret. Vova

Jejak Imam Lapeo, KH Muhammad Thahir (1)

Makam Imam Lapeo, di Mandar    Imam Lapeo, KH Muhammad Thahir Tak Pernah Putus dari Peziarah Di masjid Imam Lapeo atau dikenal masjid Nurut Taubah Lapeo. Letak masjidnya berada di Desa Lapeo Kecamatan Campalagian Kabupaten Polewali Mandar. Tak sulit mendapati masjid itu sebab berada di pinggir jalan Poros Polman-Majene, Sulbar. ILHAM WASI Campalagian Usai salat Dhuhur di masjid Imam Lapeo, Rabu 17 Juni. Saya tak langsung pulang, sebab ingin tahu banyak soal masjid tertua di tanah Mandar ini. Di Lapeo ini juga telah ditetapkan kawasan wisata religi. Empat orang sedang melingkar. Saya menyapanya, mereka para pengurus masjid imam Lapeo. Saat ditanyai soal kisah Imam Lapeo, seorang menunjuk papan informasi letaknya di sebelah kanan saf paling depan.  "Kisah Imam Lapeo ada di sana." kata salah satu pengurus Sumardin Kama menunjukkannya pada saya. Di situlah berisi riwayat singkat perjalanan hidup KH Muhammad Thahir Imam Lapeo (1839- 1952). "Sengaja pen