Langsung ke konten utama

Mak Cida: Maestro Tari Tradisi, Pakkarena Mengakar di Tubuhnya

MAK CIDA (depan) dok Shaifuddin Bahrun

Mak Cida bersama sanggar IKARE-dok-Shaifuddin Bahrun



Mak Cida. Tari "Pakkarena" baginya sudah menyatu ke dalam tubuhnya. Jadi kewajiban untuk terus menjaga. Mengajarkan ke anak-cucu,sampai generasi berikutnya agar mengakar dan tetap tumbuh tak dimakan usia.
    Tak salah jika Malino dikatakan kota bunga. Berbagai jenis bunga, tumbuh dan mekar di sini. Di balik kota itu, tak lengkap rasanya jika tak memilih jalur menuju Air Terjun Takapala. Sebab, sebelum sampai di Air Terjun, kita akan melewati kelurahan Bulutana.
    Mampir, atau Tinggallah sejenak. Merasakan kabut dan hawa dingin. Bertanya kepada penduduk sekitar. Di mana tempat Sanggar IKARE (Ikatan Pakkarena Gowa Turaya)?. Anda tidak bakal tersesat.Penduduk akan menunjukkan sebuah rumah. Rumah itu, tinggal salah satu Maestro Tari Tradisi yang tahun 2012 lalu dilekatkan padanya.Penghargaan itu diberikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muh Nuh.
    Sepantasnya gelar itu diraihnya. Bukan perkara mudah, mempertahankan tari tradisi yang diajarkan oleh Ibunya dulu. Di jaga sampai sekarang.
    Penulis, menempuh perjalanan sekira 80 km dari kota Makassar. Hanya untuk bertemu dengannya. Bukan perkerjaan sia-sia, namun pelajaran berharga pun bisa diperoleh. Cobalah, Berbincang dan belajar bagaimana ia memertahankan wasiat itu.
    Bertemu dengan Mak Cia. sekitar pukul 19.15 Wita, Jumat 18 April. Memang harus menunggu, sebab hari itu dia tak ada di rumah.Dia, berada di sawah dan saya datang saat musim tanam. "biasanya di rumah sawah ki nginap, ka jauh ki itu sawah 1 km. Baru jalan kaki. jangan mi ke sana, biarmi nanti dijemput ki. Tapi, tunggu mami sampai malam"tutur Suriati, cucu Mak cida ini. Tak ada pilihan lain, harus menunggu.
    Mak Cida begitu ia dikenal, tapi di KTPnya tertulis Cida Gagong. Kelahiran Gowa, 1 Juli 1942.Usianya kini menginjak 72 tahun. Terlihat pada kerut garis wajahnya.Namun, saat diminta untuk menarikan salah satu gerakan Pakkarena. Masih lembuh, seakan roh tari Pakkarena bersamanya.         Gerakan jari tangan, kepala, selendang. Tarian itu hidup, berirama . Walau, kulitnya tampak keriput di makan usia.
    Menjadi penari sejak masih remaja "kira-kira umur 15 tahun sudah belajar ma, lama sekali mi" kenangnya.
    Gerakan-gerakan tari yang didapatkannya merupakan warisan dari orang tuanya. "dari dulu mi itu gerakan tari, tidak pernah diubah" ungkapnya. sesekali mempraktekkan salah satu gerakan dengan jari tangannya.
    Ada Lima pakkarena yang ditarikan, antaranya Dendang ri dendang, Dara Sombala, Tuka lau, Sore Gandang, Bunga Kebo. Malam itu, beberapa orang datang untuk berbincang.
    Muh Nasir Nyampa, namanya. Kuketahui namanya dari Suriati. Dia juga seorang pemain musik. Alat yang dimainkannya gendang Makassar. Pakkarena tak lengkap jika tak diringi musik gendang Makassar.
    Dia setia mengiringi penari pakkarena saat pentas. Usianya memang tak jauh beda dengan Mak Cida. Tampak pada rambut, kumis, dan janggotnya memutih. Dialah, yang mengajari pemuda untuk bermain gendang.
    Muh Nasir Nyampa, menjelaskan tari-tari yang dimainkan, Itu penuh makna. Pakkarena itu artinya dari bahasa Makassar "karena" artinya tari. Jadi, Pakkarena "tarian".
    Ada beberapa tari, Pakkarena Dendang ri dendang, tari ini yang sering ditarikan. sebab, berisi hiburan dan dilakukan saat ada undangan maupun pesta, Pakkarena Dara Sombala dimainkan penghormatan pada raja-raja,Pakkarena Tuka lau untuk orang yang pergih ke daerah lain, atau pernikahan muda-mudi antardaerah. Sore gandang sama untuk hiburan juga.
    Tapi, untuk Bunga Kebo. Tari ini masih diskralkan. Tari ini baru ditarikan kalau ada persetujuan adat. Saat ditanyai soal Pakkarena Bunga Kebo, Mak Cida. "Sangat dijaga itu, tidak bisa diajarkan pada yang lain".
    Kepercayaan tentang hal-hal (gaib) bisa terjadi. Jika tidak dilakukan dengan benar atau persetujuan adat seppulo dua (adat 12). Sementara itu, Tari Pakkarena Dendang Ri Dendanglah yang sering dimainkan. Bahkan, tari inilah yang familiar dipertunjukkan. "Saat hari Jadi Kabupaten Gowa Tahun 2010. Nenek melatih, ratusan orang untuk dipentaskan. Tapi, pakkarena ridendang yang dikasihkan" ujar Sunarti
Sambil menunjukkan catatan di buku agenda Mak Cida"
    Dendang ri dendang, sallomi na kammi konte, natingara padebakang, nakutu kija, natagala nasarenna...! sepotong lirik yang dinyanyikan dengan merdu. "memendam rasa sudah lama tersimpan, dan datang hari yang dinanti-nanti. Tapi masih terhalang oleh rasa...". "kira-kira begitu maknanya" Seru Muh Nasir Nyampa.
    Ciri tari Pakkarena, di daerah ini. Biasanya memakai baju bodo bewarna merah, Selendang putih, Kipas, dan Lipa (sarung) sabbe, di kembang bunga di rambut. "baju bodonya itu, masih yang dulu" Sunarti menambahkan.
    "Minum kopinya, itu kopi di tanam, dan diproses sendiri di sini". ujar lelaki di depan saya. Menawarkan minum. Maklum, Kopi bisa saja tak panas lagi akibat kalah dari hawa dingin.
    Robert Wilson sutradara I Lagaligo, ku pikir sudah mempertimbangkan dengan matang. Mengapa Ia memberi peran Ibu pada Mak Cida. Sosok yang jika menari merasai setiap gerakannya."Tena kusiri-siri iya, ka terbiasami menari" terang Mak Cida.
    Peran itu tak pernah membuatnya canggung, apalagi merasa gugup. Terbiasa dengan dunia pertunjukan. "ka begini yang disuruhkan"
Jari tangannya seolah memegang selendang, tangannya dinaikkan sampai setinggi bahu, lalu diturunkan lagi dengan pelan.
    "Banyak tong yang cini-cini ki, itu dulu. ka cantik ki memang waktu masih muda" kelakar Nyampa yang masih satu keluarga dengannya.
    Segudang pengalaman telah dilewatinya. Tari pakkarena, tak digelutinya sendiri. Masih ada Dg Besse, Dg Ninong, Dg Tokeng, Dg Sasse, Alm Dg Dia, Dg Bajirah. Bersama mereka, Pakkarena hidup. "Sampai sekarang masih tetap menari, mengajar. kalau anak-anakku, cucu-cukuku ka pintar semuami. Biar di rumah juga diajar" beber Istri Dg.Bahara ini.
    Pakkarena akan abadi, sebab di sana masih lestari di tanah kelahirannya.Bulutana!(*)

*) dipublikasikan oleh fajar

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Musik Tradisi "Passayang-sayang" dari Mandar

MUSIK TRADISI. Pemain Pasayang- sayang  diacara peresmian Pusat Kajian Kebudayaan di Universitas Sulawesi Barat, Rabu 29 April. Musik tradisi ini telah tercatat sebagai warisan budaya tak benda di Indonesia . Tahan Tuturkan Kisah "Siamasei" Berjam-jam   Musik tradisional passayang-sayang dimainkan sebagai hiburan rakyat. Berisi ungkapan hati dan pemain passayang-sayang ini pun miliki cara agar penonton tahan berjam-jam lamanya. ILHAM WASI Majene Ketika gitar dipetik, melodi mengalir merdu. Petikan melodi Dahlan pun membui penonton. Irama melodi dipadukan dengan gitar bas yang dimainkan Abd Hamid. Giliran Zakaria dan Sinar melantunkan lirik lagu passayang-payang bergantian. Keduanya, masyarakat Mandar menyebutnya sebagai pakelong (penyanyi).  Mereka semua masih dalam satu grup musik tradisional dari Tiga Ria Tinambun yang berasal di Kecamatan Tinambung Polman. Tugas mereka sebagai orang-orang pelestari seni musik tradisional passayang- sayang  Ma

Kisah di Balik Nama Pasangkayu, dari Tutur Suku Kaili: Vova Sanggayu

Pemkab Mamuju Utara sedang mengupayakan perubahan nama menjadi Kabupaten Pasangkayu. Lalu, dari mana asal nama itu? ILHAM WASI Pasangkayu diyakini sebagai tempat pohon Vova Sanggayu/ist IBU kota Mamuju Utara (Matra) adalah Pasangkayu. Itulah yang diusulkan menjadi nama kabupaten. Agar ada yang khas, tidak lagi dianggap mirip dengan Mamuju, ibu kota provinsi Sulawesi Barat. Nama Pasangkayu punya kisah. Konon diambil dari nama sebuah pohon besar. Cerita yang sudah melegenda. Penulis buku Tapak-tapak Perjuangan Berdirinya Mamuju Utara , Bustan Basir Maras menjelaskan, selama dirinya melakukan risetnya, memang muncul beberapa versi. Namun, dia menemukan bila setidaknya 70 persen tokoh masyarakat di Matra mengakui Pasangkayu berasal dari kata “Vova” dan “Sanggayu”. Masyarakat meyakini pohonnya tumbuh   di Tanjung Pasangkayu, Kecamatan Pasangkayu, Matra. “Masih tampak kok bakau-bakaunya di sana. Tetapi vova sanggayu sudah tidak ada,” paparnya, Kamis, 23 Maret. Vova

Jejak Imam Lapeo, KH Muhammad Thahir (1)

Makam Imam Lapeo, di Mandar    Imam Lapeo, KH Muhammad Thahir Tak Pernah Putus dari Peziarah Di masjid Imam Lapeo atau dikenal masjid Nurut Taubah Lapeo. Letak masjidnya berada di Desa Lapeo Kecamatan Campalagian Kabupaten Polewali Mandar. Tak sulit mendapati masjid itu sebab berada di pinggir jalan Poros Polman-Majene, Sulbar. ILHAM WASI Campalagian Usai salat Dhuhur di masjid Imam Lapeo, Rabu 17 Juni. Saya tak langsung pulang, sebab ingin tahu banyak soal masjid tertua di tanah Mandar ini. Di Lapeo ini juga telah ditetapkan kawasan wisata religi. Empat orang sedang melingkar. Saya menyapanya, mereka para pengurus masjid imam Lapeo. Saat ditanyai soal kisah Imam Lapeo, seorang menunjuk papan informasi letaknya di sebelah kanan saf paling depan.  "Kisah Imam Lapeo ada di sana." kata salah satu pengurus Sumardin Kama menunjukkannya pada saya. Di situlah berisi riwayat singkat perjalanan hidup KH Muhammad Thahir Imam Lapeo (1839- 1952). "Sengaja pen