Langsung ke konten utama

Dari Festival Teater Mahasiswa Indonesia ke-10 Se Sulselbar (2)

Ketika Istri “Ngidam” Minta Pejabat Bersih dari Korupsi

Ide-ide mereka cukup besar, dari kisah percintaan, dan kritik sosial pun ditonjolkan agar kita bisa mengenali dunia.

ILHAM WASI
Baruga A P Pettarani Unhas

Lakon-lakon semakin menarik untuk dijadikan tontonan yang berkualitas di FTMI ke-10 UKM Teater Kampus Unhas. Lakon itu bakal disaksikan hingga 6 Juni. Musik mengantar mengikuti adegan. Sekitar sepuluh aktor laki dan perempuan beradegan. Kain putih yang menjadi latar, menyatu dengan cahaya biru. Aktor itu lalu-lalang, baik laki-laki maupun perempuan, perut mereka rata-rata buncit.
Kini tinggal seorang aktor laki-laki. Perutnya juga buncit, mematung menatap ke langit. Pemain lain masuk, Mataku tertuju para dua lelaki. Tubuhnya saling menopang berputar bak roda.
Lelaki lainya masuk, menggendong bayi. Berkejaran dengan seorang perempuan. Keduanya seperti suami-istri. Keduanya berhenti, dan beradu panco di kotak persegi berukuran sekira 60 cm, yang terpasang di tengah panggung.
Sang suami kalah adu panco. Sang anak digendongan suami diserahkan pada istri. Keduanya bergegas pergi. Suami harus menggendong istrinya, dengan posisi membungkuk. Punggungnya menggendong istri dan anaknya. Penonton bisa menafsirkan, merawat anak masih berat pada perempuan, dan di pundak laki-lakilah diletakkan tanggung jawab keluarga.
‘Istriku” teriak sang suami lain memanggil istrinya. Mereka berdialog, kadang juga berbeda pandang. Selama enam tahun pernikahannya, belum dikarunia seorang anak. Hingga akhirnya, memutuskan untuk mencari orang pintar.
Keduanya polos dan percaya lantas percaya. Lampu berubah warna biru, lalu terang tanda masa berganti. Istrinya bias hamil. Sang suami meloncot kegirangan. Sesekali tawa penonton lepas. Istrinya Ngidam, buah nangka hasil curian. Suami pun menurutinya, nangka curian itu dihadihkan ke Istrinya. Namun, Istrinya menolak menerima. “Saya tidak mau makan hasil curian,” ungkapnya. Membuat bingung sang suami.
“Ngidam, ingin bertemu dengan pejabat yang bersih dari korupsi,’ pintanya pada suami. Suami, tambah kebingungan. “Mana ada pejabat yang bersih,” Suami menimpali.
Sepotong adegan tersebut, gambaran dunia yang ditafsirkan ke atas panggung. Teater tersebut dilakonkan oleh UKM Seni Budaya Talas Unismuh Makassar, Ngidam judul naskahnya, Selasa 3 Juni. “Kurang lebih 3 bulan, garapan ini disiapkan dengan menyajikan konsep Surealis,” tutur sang sutradara Ansar Saad.
Tak kalah kreatif, keaktoran lain juga di uji di panggung FTMI ke-10. Kini giliran komunitas teater Kissa UIN Alauddin Makassar. Teater Orang Kasar, disutradarai oleh Fadullah. Set berubah tanda ada lagi kain putih tetapi ruang tamu lengkap dengan kursi dan meja, juga ada foto melekat ke dinding.
Nyonya Martopo, merenungi nasibnya. Mengenang masa kemesraan dengan suaminya. Nyonya Martopo masih berduka, sepeninggal suami baju hitam terus ia kenakan. Ia memuluk foto sang suami. Lima pasang kekasih masuk, berdansa. Kenangan itu gambaran romantismenya yang telah berlalu.
Konflik muncul ketika seorang lelaki bergaya Eropa menemuinya. “Bayarlah utang suamimu nona,’ ungkap Bilal bertopi bundar ini. Namun, Nyonya tak memiliki uang. Pertentangan hadir, karena Bilal tak mau mengerti kondisi. Mereka terus berdebat. Tak disangka Bilal menaruh rasa cinta untuk Nyonya Martopo.
Nyonya Martopo tampak bingung. Mempertahankan kesetiaan atau menerima cinta Bilal. ‘Pergilah,” usir Nyonya Martopo. Bilal mengindahkan, keduanya tampak malu. Tak disangka telah tumbuh benih asmara diantara mereka. Di kursi kayu itu, Nyonya Martopo menyandarkan kepalanya di pundak Bilal. Lampu ditarik pelan, meredup. Hanya tepuk tangan mengisi ruangan baruga.
Di panggung FTMI kemarin juga berlangsung  lakon dengan judul naskah sang Penagih Hutang oleh HMK STIE Palopo, dan Teater Pancoran UKI Paulus Makassar, dengan judul naskah Mata-mata Orang Mati sutradara  Deasy Veronika. (*)



  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Musik Tradisi "Passayang-sayang" dari Mandar

MUSIK TRADISI. Pemain Pasayang- sayang  diacara peresmian Pusat Kajian Kebudayaan di Universitas Sulawesi Barat, Rabu 29 April. Musik tradisi ini telah tercatat sebagai warisan budaya tak benda di Indonesia . Tahan Tuturkan Kisah "Siamasei" Berjam-jam   Musik tradisional passayang-sayang dimainkan sebagai hiburan rakyat. Berisi ungkapan hati dan pemain passayang-sayang ini pun miliki cara agar penonton tahan berjam-jam lamanya. ILHAM WASI Majene Ketika gitar dipetik, melodi mengalir merdu. Petikan melodi Dahlan pun membui penonton. Irama melodi dipadukan dengan gitar bas yang dimainkan Abd Hamid. Giliran Zakaria dan Sinar melantunkan lirik lagu passayang-payang bergantian. Keduanya, masyarakat Mandar menyebutnya sebagai pakelong (penyanyi).  Mereka semua masih dalam satu grup musik tradisional dari Tiga Ria Tinambun yang berasal di Kecamatan Tinambung Polman. Tugas mereka sebagai orang-orang pelestari seni musik tradisional passayang- sayang  Ma

Kisah di Balik Nama Pasangkayu, dari Tutur Suku Kaili: Vova Sanggayu

Pemkab Mamuju Utara sedang mengupayakan perubahan nama menjadi Kabupaten Pasangkayu. Lalu, dari mana asal nama itu? ILHAM WASI Pasangkayu diyakini sebagai tempat pohon Vova Sanggayu/ist IBU kota Mamuju Utara (Matra) adalah Pasangkayu. Itulah yang diusulkan menjadi nama kabupaten. Agar ada yang khas, tidak lagi dianggap mirip dengan Mamuju, ibu kota provinsi Sulawesi Barat. Nama Pasangkayu punya kisah. Konon diambil dari nama sebuah pohon besar. Cerita yang sudah melegenda. Penulis buku Tapak-tapak Perjuangan Berdirinya Mamuju Utara , Bustan Basir Maras menjelaskan, selama dirinya melakukan risetnya, memang muncul beberapa versi. Namun, dia menemukan bila setidaknya 70 persen tokoh masyarakat di Matra mengakui Pasangkayu berasal dari kata “Vova” dan “Sanggayu”. Masyarakat meyakini pohonnya tumbuh   di Tanjung Pasangkayu, Kecamatan Pasangkayu, Matra. “Masih tampak kok bakau-bakaunya di sana. Tetapi vova sanggayu sudah tidak ada,” paparnya, Kamis, 23 Maret. Vova

Jejak Imam Lapeo, KH Muhammad Thahir (1)

Makam Imam Lapeo, di Mandar    Imam Lapeo, KH Muhammad Thahir Tak Pernah Putus dari Peziarah Di masjid Imam Lapeo atau dikenal masjid Nurut Taubah Lapeo. Letak masjidnya berada di Desa Lapeo Kecamatan Campalagian Kabupaten Polewali Mandar. Tak sulit mendapati masjid itu sebab berada di pinggir jalan Poros Polman-Majene, Sulbar. ILHAM WASI Campalagian Usai salat Dhuhur di masjid Imam Lapeo, Rabu 17 Juni. Saya tak langsung pulang, sebab ingin tahu banyak soal masjid tertua di tanah Mandar ini. Di Lapeo ini juga telah ditetapkan kawasan wisata religi. Empat orang sedang melingkar. Saya menyapanya, mereka para pengurus masjid imam Lapeo. Saat ditanyai soal kisah Imam Lapeo, seorang menunjuk papan informasi letaknya di sebelah kanan saf paling depan.  "Kisah Imam Lapeo ada di sana." kata salah satu pengurus Sumardin Kama menunjukkannya pada saya. Di situlah berisi riwayat singkat perjalanan hidup KH Muhammad Thahir Imam Lapeo (1839- 1952). "Sengaja pen