Ide-ide
mereka cukup besar, dari kisah percintaan, dan kritik sosial pun ditonjolkan agar
kita bisa mengenali dunia.
ILHAM
WASI
Baruga
A P Pettarani Unhas
Lakon-lakon
semakin menarik untuk dijadikan tontonan yang berkualitas di FTMI ke-10 UKM
Teater Kampus Unhas. Lakon itu bakal disaksikan hingga 6 Juni. Musik mengantar mengikuti
adegan. Sekitar sepuluh aktor laki dan perempuan beradegan. Kain putih yang
menjadi latar, menyatu dengan cahaya biru. Aktor itu lalu-lalang, baik laki-laki
maupun perempuan, perut mereka rata-rata buncit.
Kini
tinggal seorang aktor laki-laki. Perutnya juga buncit, mematung menatap ke
langit. Pemain lain masuk, Mataku tertuju para dua lelaki. Tubuhnya saling menopang
berputar bak roda.
Lelaki
lainya masuk, menggendong bayi. Berkejaran dengan seorang perempuan. Keduanya
seperti suami-istri. Keduanya berhenti, dan beradu panco di kotak persegi berukuran
sekira 60 cm, yang terpasang di tengah panggung.
Sang
suami kalah adu panco. Sang anak digendongan suami diserahkan pada istri. Keduanya
bergegas pergi. Suami harus menggendong istrinya, dengan posisi membungkuk.
Punggungnya menggendong istri dan anaknya. Penonton bisa menafsirkan, merawat
anak masih berat pada perempuan, dan di pundak laki-lakilah diletakkan tanggung
jawab keluarga.
‘Istriku”
teriak sang suami lain memanggil istrinya. Mereka berdialog, kadang juga
berbeda pandang. Selama enam tahun pernikahannya, belum dikarunia seorang anak.
Hingga akhirnya, memutuskan untuk mencari orang pintar.
Keduanya
polos dan percaya lantas percaya. Lampu berubah warna biru, lalu terang tanda
masa berganti. Istrinya bias hamil. Sang suami meloncot kegirangan. Sesekali
tawa penonton lepas. Istrinya Ngidam, buah nangka hasil curian. Suami pun
menurutinya, nangka curian itu dihadihkan ke Istrinya. Namun, Istrinya menolak
menerima. “Saya tidak mau makan hasil curian,” ungkapnya. Membuat bingung sang
suami.
“Ngidam,
ingin bertemu dengan pejabat yang bersih dari korupsi,’ pintanya pada suami. Suami,
tambah kebingungan. “Mana ada pejabat yang bersih,” Suami menimpali.
Sepotong
adegan tersebut, gambaran dunia yang ditafsirkan ke atas panggung. Teater
tersebut dilakonkan oleh UKM Seni Budaya Talas Unismuh Makassar, Ngidam judul
naskahnya, Selasa 3 Juni. “Kurang lebih 3 bulan, garapan ini disiapkan dengan
menyajikan konsep Surealis,” tutur sang sutradara Ansar Saad.
Tak
kalah kreatif, keaktoran lain juga di uji di panggung FTMI ke-10. Kini giliran
komunitas teater Kissa UIN Alauddin Makassar. Teater Orang Kasar, disutradarai oleh
Fadullah. Set berubah tanda ada lagi kain putih tetapi ruang tamu lengkap
dengan kursi dan meja, juga ada foto melekat ke dinding.
Nyonya
Martopo, merenungi nasibnya. Mengenang masa kemesraan dengan suaminya. Nyonya
Martopo masih berduka, sepeninggal suami baju hitam terus ia kenakan. Ia
memuluk foto sang suami. Lima pasang kekasih masuk, berdansa. Kenangan itu
gambaran romantismenya yang telah berlalu.
Konflik
muncul ketika seorang lelaki bergaya Eropa menemuinya. “Bayarlah utang suamimu
nona,’ ungkap Bilal bertopi bundar ini. Namun, Nyonya tak memiliki uang. Pertentangan
hadir, karena Bilal tak mau mengerti kondisi. Mereka terus berdebat. Tak
disangka Bilal menaruh rasa cinta untuk Nyonya Martopo.
Nyonya
Martopo tampak bingung. Mempertahankan kesetiaan atau menerima cinta Bilal.
‘Pergilah,” usir Nyonya Martopo. Bilal mengindahkan, keduanya tampak malu. Tak
disangka telah tumbuh benih asmara diantara mereka. Di kursi kayu itu, Nyonya
Martopo menyandarkan kepalanya di pundak Bilal. Lampu ditarik pelan, meredup.
Hanya tepuk tangan mengisi ruangan baruga.
Di
panggung FTMI kemarin juga berlangsung lakon
dengan judul naskah sang Penagih Hutang oleh HMK STIE Palopo, dan Teater
Pancoran UKI Paulus Makassar, dengan judul naskah Mata-mata Orang Mati
sutradara Deasy Veronika. Serta Balai
Seni Bisseru 17 UNM FIP PGSD Pare-Pare, dengan Judul Naskah Lena Tak Pulang.(*)
Komentar
Posting Komentar