Langsung ke konten utama

Sastrawan Gol A Gong Menebar Kantong-kantong Literasi

Penulis buku yang juga penggiat literasi, Gol A Gong berbincang literasi dan proses kreatif di Lantai 3 Gedung Graha Pena Mamuju, Sabtu, 22 Oktober. 

Bincang literasi itu diadakan Forum Lingkar Pena (PLP) Sulbar. Penulis yang memiliki nama asli, Heri Hendrayana Harris berbagi kepada peserta diskusi terdiri dari guru dan penggiat literasi. Ia melihat melatih kepekaan  terhadap dunia kepenulisan serta sastra yang harus diciptakan. Misalnya di sekolah, rumah, harus mencipatkan atmosfer literasi.  Literasi menulis dan membaca yang tak bisa dipisahkan.

Makanya ketika hendak memberikan pemahanan kepada siswa di sekolah, maka patut disampaikan membaca, menulis itu adalah perintah Allah. Sesuai dengan ayat alquraan yang pertama diturunkan Allah adalah "Iqra'" yang berarti, "bacalah". 

"Sekalian saja disampaikan sampaikan jika membaca dan menulis itu perintah Allah. Itu kan ada dalam ayat pertama," ujar pria yang bersama Agus M Irkham menulis buku, Gempa Literasi: Dari Kampung untuk Nusantara.

Selain itu, memotivasi siswa di kelas bisa lewat pengenalan tokoh-tokoh dunia yang mempunyai pengaruh sebab mereka membaca buku. Gol A Gong yang juga pendiri Rumah Dunia di Serang, Banten mengusulkan agar di sekolah dibuatkan stimulus. "Sekolah menyiapkan rak buku kosong, lalu di rak itu setiap siswa datang, siswa memamerkan bukunya yang dibacanya. Itu juga menciptakan atmosfer di sekolah," katanya. 

Menciptakan budaya baca itu bisa juga membuat di rumah dengan memiliki koleksi buku-buku. "Kan beda kalau isinya rumah hanya guci, keramik, dan buku," ujarnya.

Bagi komunitas memang membangun budaya literasi memang harus konsisten. Jika pengiatanya dari jurnalis makanya bisa menjadi central figur dari komunitas itu. Dia juga mesti mapan, kompetensinya, koneksivitas, integritas, dan ada relawan. "Koneksivitas ini penting membangun jaringan," katanya.

Direktur Radar Sulbar, Mustafa Kufung, cukup mengapreasiasi diskusi untuk menumpukan budaya baca itu. Mustafa berbagi soal jika Radar juga giat-giatnya menggagas budaya literasi di sekolah.

Modelnya berbeda sebab perpustakaan sekolah terbatas koleksinya. Meskipun sebenarnya, pemerintah punya dinas yang mengurusinya. "Jadi ketika budaya baca tidak tumbuh, makanya bisa dipastikan indeks prestasi terus menurun. Ini karena minat baca di sekolah kurang," paparnya.

Makanya salah satunya dengan membuat gerakan "kantong buku" di sekolah. Di kantong buku akan ditempatkan di kelas. Setiap pekannya diisi buku-buku yang menarik, seperti cerpen, pengetahuan umum, sesuai jenjang. "Disitu dia harus baca, kemudian, digilir setiap kelas atau sekolahnya. Nah, yang harus dipikirkan ke depan," usulnya.

Gol A Gong juga membeberkan cara menuangkan ide lewat esai. Esai yang cara sederhana untuk menyampaikan kegelisahannya. Salah guru di SMP Negeri 2 Simboro, Mewangi M Siayan menyampaikan curhatannya. Utamanya menyoal "Gunung Sandapang", gunung yang ada dalam logo kabupaten Mamuju.

Gunung Sandapang itu telah menjadi ikon, tapi seakan dilupakan, sebab akses menuju ke Kalumpang masih rusak parah. Dia ingin mengeritik perhatian pemerintah terhadap infrastruktur jalan ke desa itu lewat esai. Ia ingin mengambarkan kontradiksinya. Sudah menjadi ikon, tapi mengapa dilupakan?. "Sejak tahun 1997 saya sekolah di sana. Jalannya tetap saja sama," ujarnya. 

Ia membeberkan mitos gunung Sandapang, dulu digunakan sebagai petunjuk nelayan melaut. Gunung yang letaknya tinggi, bisa menjadi acuan nelayan jika hendak pulang ke daratan. Di gunung Sandapang juga terdapat namanya padi pare. Padi yang tumbuh di atas batu. Padi yang menjadi kepercayaan masyarakat Kalumpang sebagai petunjuk masuknya musim tanam. Jika padinya tumbuh, maka musim tanam tiba. Hasil bumi bisa tumbuh subur. Jika sebaliknya, maka musim tanam belum tiba masanya. 

Namun, ke desa itu aksesnya masih terkendala jalan. "Itulah kegelisahan saya," tutur perempuan lahir di Desa Bonehau Kecamatan Bonehau Kabupaten Mamuju itu. Gol A Gong menjawab kegelisahannya tadi bisa menjadi materi esai. Caranya menulisnya dengan melihat masa lalu, kini, serta membayangkan masa depan dengan sebuah solusi. Dari situ akan muncul esai. (ham)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Musik Tradisi "Passayang-sayang" dari Mandar

MUSIK TRADISI. Pemain Pasayang- sayang  diacara peresmian Pusat Kajian Kebudayaan di Universitas Sulawesi Barat, Rabu 29 April. Musik tradisi ini telah tercatat sebagai warisan budaya tak benda di Indonesia . Tahan Tuturkan Kisah "Siamasei" Berjam-jam   Musik tradisional passayang-sayang dimainkan sebagai hiburan rakyat. Berisi ungkapan hati dan pemain passayang-sayang ini pun miliki cara agar penonton tahan berjam-jam lamanya. ILHAM WASI Majene Ketika gitar dipetik, melodi mengalir merdu. Petikan melodi Dahlan pun membui penonton. Irama melodi dipadukan dengan gitar bas yang dimainkan Abd Hamid. Giliran Zakaria dan Sinar melantunkan lirik lagu passayang-payang bergantian. Keduanya, masyarakat Mandar menyebutnya sebagai pakelong (penyanyi).  Mereka semua masih dalam satu grup musik tradisional dari Tiga Ria Tinambun yang berasal di Kecamatan Tinambung Polman. Tugas mereka sebagai orang-orang pelestari seni musik tradisional passayang- sayang  Ma

Kisah di Balik Nama Pasangkayu, dari Tutur Suku Kaili: Vova Sanggayu

Pemkab Mamuju Utara sedang mengupayakan perubahan nama menjadi Kabupaten Pasangkayu. Lalu, dari mana asal nama itu? ILHAM WASI Pasangkayu diyakini sebagai tempat pohon Vova Sanggayu/ist IBU kota Mamuju Utara (Matra) adalah Pasangkayu. Itulah yang diusulkan menjadi nama kabupaten. Agar ada yang khas, tidak lagi dianggap mirip dengan Mamuju, ibu kota provinsi Sulawesi Barat. Nama Pasangkayu punya kisah. Konon diambil dari nama sebuah pohon besar. Cerita yang sudah melegenda. Penulis buku Tapak-tapak Perjuangan Berdirinya Mamuju Utara , Bustan Basir Maras menjelaskan, selama dirinya melakukan risetnya, memang muncul beberapa versi. Namun, dia menemukan bila setidaknya 70 persen tokoh masyarakat di Matra mengakui Pasangkayu berasal dari kata “Vova” dan “Sanggayu”. Masyarakat meyakini pohonnya tumbuh   di Tanjung Pasangkayu, Kecamatan Pasangkayu, Matra. “Masih tampak kok bakau-bakaunya di sana. Tetapi vova sanggayu sudah tidak ada,” paparnya, Kamis, 23 Maret. Vova

Jejak Imam Lapeo, KH Muhammad Thahir (1)

Makam Imam Lapeo, di Mandar    Imam Lapeo, KH Muhammad Thahir Tak Pernah Putus dari Peziarah Di masjid Imam Lapeo atau dikenal masjid Nurut Taubah Lapeo. Letak masjidnya berada di Desa Lapeo Kecamatan Campalagian Kabupaten Polewali Mandar. Tak sulit mendapati masjid itu sebab berada di pinggir jalan Poros Polman-Majene, Sulbar. ILHAM WASI Campalagian Usai salat Dhuhur di masjid Imam Lapeo, Rabu 17 Juni. Saya tak langsung pulang, sebab ingin tahu banyak soal masjid tertua di tanah Mandar ini. Di Lapeo ini juga telah ditetapkan kawasan wisata religi. Empat orang sedang melingkar. Saya menyapanya, mereka para pengurus masjid imam Lapeo. Saat ditanyai soal kisah Imam Lapeo, seorang menunjuk papan informasi letaknya di sebelah kanan saf paling depan.  "Kisah Imam Lapeo ada di sana." kata salah satu pengurus Sumardin Kama menunjukkannya pada saya. Di situlah berisi riwayat singkat perjalanan hidup KH Muhammad Thahir Imam Lapeo (1839- 1952). "Sengaja pen