Bumi tempat kita berpijak, tanah
tempat kita menanam. Maka, rasa syukur itu patut kita panjatkan kepada-Nya.
Ilham Wasi
Barugaya
Negara kita kaya akan hasil bumi,
tidak salah jika dikatakan negara yang agraris. Oleh karena itu, para petani polongbangkeng, mengadakan Pesta
Panen sebagai ruang silaturahmi dan luapan kegembiran atas panen yang melimpah.
Biasanya pesta panen digelar
diselenggarakan dengan cara mappadendang. Namun, beda tempat beda kebiasaan. Di
Barugaya perbedaan itu bisa kita temukan. Bagaimana prosesinya?
Pertanyaan itulah yang membuat saya
betah untuk tetap menunggu hajatan tersebut di gelar. Pagi sekira pukul 10.00
wita, matahari cerah, ribuan rakyat berkumpul di lokasi yang berada di tengah
sawah.
Tunrung pakkajara (pukulan gendang
Makassar), suara pui-pui mengalir mengawinkan irama kesyukuran tanda prosesi
dimulai. Iringan sebelas traktor dompeng
(traktor tangan yang menggandeng gerobak, biasanya juga digunakan untuk
mengangkut hasil panen) melaju pelan menuju lokasi utama. kali ini gerobak
tersebut, tidak mengakut hasil panen tetapi pemimpin Serikat Tani
Polongbangkeng (STP).
Para pemimpin serikat turun dan
melangkah di depan massa mereka. Lalu, mengangkat bendera merah putih, dan
bendera organisasi mereka. Bersama menyanyikan Indonesia Raya. “Hiduplah
Indonesia raya” kemudian di sambung dengan “Hidup petani” teriakan massa yang
terbakar semangat nasionalisme.
Bunyi gendang kembali terdengar,
pemain teaterikal yang umumnya dimainkan anak-anak beraksi di tengah panggung.
Adengan mengalir, mereka cukup terlatih memerankan peran. ada yang berperan
sebagai Ibu-Ibu yang memasak, dan anak laki-laki meniru bapak mereka yang
sedang memotong padi, ada juga yang berperan sebagai aparat. “teaterikal ini
adalah alur dari kehidupan masyarakat polongbangkeng, saat berjuang atas tanah
mereka” ujar Purna (25 thn) yang mengajari mereka berteater.
warga yang hadir cukup menikmatinya,
sekali ada yang bertepuk tangan. Apalagi saat pemain menirukan saat memanggil
ibu mereka “Mak lapar, Mak lapar, Mak…..”
dengan nada manja. Seakan panggilan itu ditujukan pada ibu-ibu yang hadir.
Pesta ini, memang kelihatan sudah
dipersiapkan dengan matang. Habis teaterikal, pemain dilanjutkan gambus, keso-keso (alat musik tradisonal yang digesek)
juga turut meramaikan. dimainkan dengan lirik-lirik Makassar yang menggambarkan
kondisi petani polongbangkeng.
Tumpukan kayu bakar, yang kira-kira
panjang 15 meter mulai dinyalakan. Lemang yang sudah disiapkan dibakar berjejer
ditumpukan kayu tersebut. Semua masyarakat yang hadir ambil bagian dalam
prosesi itu, lalu menyantap lemang secara bersama. Tentunya, saya juga turut
bakar lemang. Santap bersama rakyat, membuat saya berpikir betapa indahnya
silaturahmi dan rasa persaudaran mereka.
“Tradisi ini, untuk pertama kalinya
digelar. Selain tanda rasa syukur, tetapi juga penggambaran perjuangan petani
untuk tetap menjaga kebersamaan” ungkap Lolo (36 thn) yang menginisiasi
kegiatan tersebut. Ketua Aliansi Reforma Agraria Sulawesi Selatan ini menambahkan
“mudah-mudahan tradisi bisa berlanjut setiap tahunnya, warga juga saat menanam
padi dapat menyisihkan lahannya untuk ditanami padi bahan lemang (beras ketam)
dan menjadikan acara ini kebudayaan baru dan peradaban maju” (*)
*)Tulisan pernah dipublikasikan pada koran fajar
Komentar
Posting Komentar