Langsung ke konten utama

Sandeq, Dipakai Mencari Ikan hingga Menyelundupkan Senjata


sandeq 

Perahu Suku Mandar yang Tergerus Zaman (2-selesai)  

Dulu para pelaut hanya andalkan angin. Anginlah yang mengarahkan mereka. Angin pula yang membawa para pelaut untuk pulang. Begitu pun dengan suku Mandar membuat teknologi perahu tercepat Nusantara, perahu Sandeq.

ILHAM WASI
Pambusuang

Sinar matahari jatuh di atas kepala. Teriknya cukup terasa. Kami pun mencari tempat yang lebih teduh. Kedua nelayan mandar, Arif dan Yahya pun turut bergeser di bawah pohon. Yahya memilih duduk. Arif hanya meletakkan alat pancing.

Dilihatnya sandeqnya berayun dimainkan ombak. Dia menghampiri sandeq miliknya. Seorang lelaki datang membantunya. Di tangan lelaki itu, dia menenteng sebuah balok khusus untuk perahu.

Nelayan mandar menyebut pallangga (penyangga), tinggi sekira 40 centimeter. Memastikan perahu telah dialasi, dan memastikan sandeqnya tak lagi berayun, arif kembali menyapa saya. "Dialasi biar bagian bawah sandeq tidak cepat rusak. Takutnya terbentur di pasir atau batu, kalau dialasi sudah aman," ujarnya lalu pamit.

Yahya masih betah untuk kembali bercerita soal pengalamannya berlayar. Dia mengaku sejak menjual Sandeqnya tahun 2000. Dia pernah bekerja di Bone. Pekerjaannya sama yaitu melaut. Yahya ikut dengan perahu lebih modern perahu bermesin. "Tetap tangkap ikan. Di Bone itu saya ikut tangkap ikan, dan berlayar itu sampai ke kendari, Lombok, Gorontalo, hingga Kalimantan," ujarnya.

Agar tak jauh dari keluarga dipilihnya untuk kembali ke Tanah Mandar. "Saya lima tahun ikut berlayar di Bone. Habis itu kembali ke Mandar," akunya. Satu dari pengalaman dari Yahya, yang didapat dari orang tuanya, Jalil. Yahya mendapat cerita soal kecapatan perahu Sandeq kerap dimanfaatkan oleh penguasa saat itu. Apalagi, Mandar pernah dikuasai oleh militer di tahun 1960-an.

"Seingat saya orang tua saya pernah bicara soal sandeq, katanya perahu Sandeq berlayar Jawa, atau Kalimantan. Biasa nelayan diminta untuk antar senjata ke Majene. Senjata yang minta oleh pasukan 710 yang dipimpin Andi selle," Yahya mengingat.

Penulis Buku Orang Mandar Orang Laut, Ridwan Alimuddin mengatakan sejak Belanda keluar di Mandar, pada tahun 1950-an pasukan DI/TII masuk ke tanah Mandar melalui Sendana, Majene. "Apalagi di sana akses mudah dengan perdagangan sebab ada pelabuhan, dan mudahnya jalur masuk," ungkapnya.

Bahkan nelayan di tanah Mandar selalu dimanfaatkan untuk memakai jasanya untuk menyelendupkan senjata. Ridwan bilang kasus ini terjadi saat kedudukan militer di tanah Mandar. "Penyelundupan senjata, dengan melibatkan nelayan yang memakai Sandeq. Jadi sandeq ini juga unsur politiknya," ujarnya

Menurut Ridwan digunakan Sandeq oleh militer untuk mengakut logistik berupa senjata, apalagi sandeq dinilai memiliki kecepatan. Kecepatan sandeq jika angin dalam keadaan baik kecepatan mencapai 15-20 knot atau 30-40 km perjam. "Karena cepatnya itu, dimanfaatkan oleh militer," ungkapnya.

Nah, banyak diantara nelayan tak ingin terlibat dalam bahaya. Nelayan pun mengelabui para militer dengan mengantungkan batu atau pallabu pada perahu. Pallabu ini biasa dibuat dari pasir yang dibungkus karung. "Dengan pallabu itu otomatis perahu nelayan menjadi lambat. Jadi, mereka bisa terhindar dari kegiatan seperti itu, apalagi akan mengancam nyawa mereka," katanya.

Musim kekacauan itu, para masyarakat Mandar itu melakukan migrasi. Migrasi di tanah Mandar, bukan disebabkan adanya kepadatan penduduk seperti di Jawa. "Di tanah Mandar sendiri akibat suasana kerusahan yang memuncak masa-masa 1960-an. Daerah tak stabil masyarakat punya perahu akan gunakan untuk migrasi," katanya.

Perahu yang digunakan untuk migrasi orang Mandar, kata Ridwan, tetap menggunakan perahu tradisional Mandar. "Baik perahu baqgo, sandeq, pakur. Karena kekacauan itu  banyak yang migrasi ke Kalimatan Timur, Kepulauan Pangkep, pulau-pulau kecil di kalimatan selatan, bahkan ke laut pulau Pagerungan di Jawa," ungkap penulis buku Laut Ikan dan Tradisi, Kebudayaan Bahari Mandar ini.

Namun, saat ini, Sandeq dalam perjalannya tak hanya pengetahuan soal tradisi, akan tetapi secara historis. Sandeq pernah digunakan oleh penguasa utamanya militer untuk menyeludupkan senjata.

Kemunculan sandeq yang mengantikan Pakur, sebab pakur yang dinilai lambat dengan layar segi empat, disbanding Sandeq layar segitiga. Makanya sandeq muncul pada tahun 1930-an sandeq mulai muncul.
Tak hanya itu, Ridwan Alimuddin, juga menjelaskan pelaut-pelaut Sulawesi Selatan di luar daerah yang paling dikenal pelaut Bugis-Makassar. Padahal tidaklah demikian sebab dihuni oleh etnik yang berbeda. Di daerah Beru-Bira-Ara di ujung terkenal sebagai asal perahu pinisi, memakai bahasa Konjo, atau rumpun bahasa Makassar bahkan berbeda dengan Bugis.


"Pelras pernah bilang sebenarnya orang bugis bukanlah pelaut ulung seperti yang banyak dikatakan orang selama ini, orang bugis sebenarnya adalah pedagang, untuk memperlancar aktivitasnya perdagangan mereka. Kalau mau menyebut pelaut ulung ada di Mandar. Suku-suku yang berorintasi banyak ke laut adalah Suku Mandar. Oleh karena tanah di tanah Mandar tidaklah begitu subur makanya banyak berorintasi ke laut," ungkap Ridwan. (*)


Baca Harian FAJAR, Selasa, 8 September 2015

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Musik Tradisi "Passayang-sayang" dari Mandar

MUSIK TRADISI. Pemain Pasayang- sayang  diacara peresmian Pusat Kajian Kebudayaan di Universitas Sulawesi Barat, Rabu 29 April. Musik tradisi ini telah tercatat sebagai warisan budaya tak benda di Indonesia . Tahan Tuturkan Kisah "Siamasei" Berjam-jam   Musik tradisional passayang-sayang dimainkan sebagai hiburan rakyat. Berisi ungkapan hati dan pemain passayang-sayang ini pun miliki cara agar penonton tahan berjam-jam lamanya. ILHAM WASI Majene Ketika gitar dipetik, melodi mengalir merdu. Petikan melodi Dahlan pun membui penonton. Irama melodi dipadukan dengan gitar bas yang dimainkan Abd Hamid. Giliran Zakaria dan Sinar melantunkan lirik lagu passayang-payang bergantian. Keduanya, masyarakat Mandar menyebutnya sebagai pakelong (penyanyi).  Mereka semua masih dalam satu grup musik tradisional dari Tiga Ria Tinambun yang berasal di Kecamatan Tinambung Polman. Tugas mereka sebagai orang-orang pelestari seni musik tradisional passayang- sayang  Ma

Kisah di Balik Nama Pasangkayu, dari Tutur Suku Kaili: Vova Sanggayu

Pemkab Mamuju Utara sedang mengupayakan perubahan nama menjadi Kabupaten Pasangkayu. Lalu, dari mana asal nama itu? ILHAM WASI Pasangkayu diyakini sebagai tempat pohon Vova Sanggayu/ist IBU kota Mamuju Utara (Matra) adalah Pasangkayu. Itulah yang diusulkan menjadi nama kabupaten. Agar ada yang khas, tidak lagi dianggap mirip dengan Mamuju, ibu kota provinsi Sulawesi Barat. Nama Pasangkayu punya kisah. Konon diambil dari nama sebuah pohon besar. Cerita yang sudah melegenda. Penulis buku Tapak-tapak Perjuangan Berdirinya Mamuju Utara , Bustan Basir Maras menjelaskan, selama dirinya melakukan risetnya, memang muncul beberapa versi. Namun, dia menemukan bila setidaknya 70 persen tokoh masyarakat di Matra mengakui Pasangkayu berasal dari kata “Vova” dan “Sanggayu”. Masyarakat meyakini pohonnya tumbuh   di Tanjung Pasangkayu, Kecamatan Pasangkayu, Matra. “Masih tampak kok bakau-bakaunya di sana. Tetapi vova sanggayu sudah tidak ada,” paparnya, Kamis, 23 Maret. Vova

Jejak Imam Lapeo, KH Muhammad Thahir (1)

Makam Imam Lapeo, di Mandar    Imam Lapeo, KH Muhammad Thahir Tak Pernah Putus dari Peziarah Di masjid Imam Lapeo atau dikenal masjid Nurut Taubah Lapeo. Letak masjidnya berada di Desa Lapeo Kecamatan Campalagian Kabupaten Polewali Mandar. Tak sulit mendapati masjid itu sebab berada di pinggir jalan Poros Polman-Majene, Sulbar. ILHAM WASI Campalagian Usai salat Dhuhur di masjid Imam Lapeo, Rabu 17 Juni. Saya tak langsung pulang, sebab ingin tahu banyak soal masjid tertua di tanah Mandar ini. Di Lapeo ini juga telah ditetapkan kawasan wisata religi. Empat orang sedang melingkar. Saya menyapanya, mereka para pengurus masjid imam Lapeo. Saat ditanyai soal kisah Imam Lapeo, seorang menunjuk papan informasi letaknya di sebelah kanan saf paling depan.  "Kisah Imam Lapeo ada di sana." kata salah satu pengurus Sumardin Kama menunjukkannya pada saya. Di situlah berisi riwayat singkat perjalanan hidup KH Muhammad Thahir Imam Lapeo (1839- 1952). "Sengaja pen