Langsung ke konten utama

Sandeq, Si Ramping yang Taklukkan Perairan Mana Saja

anak pesisir bermain dekat sandeq

Perahu Suku Mandar yang Tergerus Zaman (1)


Sandeq hanya ada di Tanah Mandar. Di tengah masyarakat yang mulai beralih ke perahu mesin, maka nasib perahu layar seperti Sandeq perlahan-lahan akan punah. Perahunya bukan digulung ombak di laut dalam, tapi tenggelam ditinggal kemudi oleh para pelautnya. 

ILHAM WASI
Polman


Ombak tetap ramah berkejeran menyapa pantai. Para nelayan masih sandarkan perahu. Diantara perahu yang sandar itu juga ada perahu Sandeq. Perahu Sandeq dengan layar digulung itu sandar di pantai. Tepatnya Desa Pambusuang Kecamatan Balanipa Kabupaten Polewali Mandar, Sulbar.
Jika hendak ke Pambusuang, jarak dari ibu Kota Polman, Polewali hanya sekira 40 kilometer, atau 289 kilometer dari Makassar, Sulsel dan 145 kilometer dari Ibu kota Provinsi Sulbar, Mamuju.
Pagi di Pambusuang. Tak ada bedanya aktivitas para nelayan, mesti tak ingin melaut, nelayan tetap menengok perahunya. Dua anak pesisir berlarian di atas pasir basah, lalu menurunkan gabus tempat ikan pada perahu Sandeq.  
Diceburkan ke laut, tubuhnya kecil terapung bersama gabus itu, lalu di dayung. Mereka riang bermain dengan laut. Ada juga seorang lelaki usianya separuh baya, jongkok mengahadap laut. Sarungnya diangkat hingga kepala. Dia sedang buang tinja. Dirasa cukup, tinjanya dikubur bersama pasir, lalu membersihkan diri dengan air laut.
Jumlah perahu yang sandar cukup banyak. Bila dihitung ada puluhan, atau sepanjang pantai Pambusuang ada sekira 50 perahu. Dekat perahu Sandeq juga sandar perahu baqgo. Perahu niaga yang dibikin khusus untuk gerakan literasi jadinya Perahu Pattingaloang, milik Ridwan Alimuddin.
Dua orang seorang sedang berbincang, berlindung dari sinar matahari yang mulai meninggi. Arif dan Yahya begitu mereka mengenalkan diri. Mereka adalah nelayan. 
Usia Arif, 43 tahun, seorang nelayan, di Mandar orang menyebutnya posasiq. Arif masih menggunakan perahu Sandeq untuk menangkap ikan. Arif juga seorang punggawa. Berbeda dengan rekannya, Yahya. Usia Yahya, lebih tua empat tahun Arif. Dia juga punggawa. Akan tetapi, Yahya, kini gunakan kapal tangkap ikan dengan gunakan mesin. Ukuran perahunya lebih besar dari perahu Sandeq. Jika sandeq muat tiga orang, maka Yahya, memuat hingga lima atau enam orang.
Arif menggunakan perahu Sandeq. Gantungkan hidup dengan menangkap ikan. Ikan yang diburu ada dua jenis, ikan tuna dan ikan terbang. "Paling jauh saya berlayar hingga 20 mil saja, dengan mencari ikan tuna. Kedalam lautnya bisa sampai seribu meter itu, sebab sudah laut dalam di sana," ujar Arif.
Perjalan mencari ikan tuna, biasanya nelayan akan menuju ke tengah laut. Daerah yang dituju para pemilik Sandeq, ke Roppo. Roppo dibuat terapung di laut, sebagai saran ikan. Dibuatnya dari bambu dan gabus. "Biasanya cari ikan tuna itu, sekitar Roppo, selama tiga hari saja. Jika malam tiba, kita ikat perahu dekat roppo, dan istirahat," ungkapnya.
Perjalanan ke tengah laut, bisa ditempuh seharian. Jika gunakan Sandeq, kecepatannya bisa dua mil perjam. "Begitu saya perkirakan. Di atas Sandeq untuk mencari ikan biasanya tiga orang saja," tutur Arif.
Ukuran perahu Sandeq untuk tangkap ikan kata Arif. Idealnya hanya sembilan meter. Jika untuk lomba Sandeq, ukurannya lebih besar hingga 12 meter. Wajah Perahu Sandeq, memiliki layar segitiga. 
Usia sandeq bisa bertahan lama jika selalu digunakan dilaut. Jika hanya didaratan kena matahari dan hujan, kayu akan cepat lapuk. "Usia Sandeq saya kini 40 tahun, sebab masih dirawat. Bisa dipakai bertahun-tahun sebab terus diturunkan di laut," kata Arif.
Perahu bercadik jika melaju di laut, maka sawi atau anak buah kapal, akan lakukan timbang, menjaga keseimbangan. "Cepat lari ini Sandeq apalagi kalau ada angin. Makanya, orang yang timbang juga harus licah," ujar Arif.  
Saat di laut mencari ikan tuna. Ikan akan dipanjing dengan alat sederhana. Arif menunjukan gulungan tali bening disebut tasi, ada pemberatnya, diujung tali ada kait cukup besar. Alat itulah yang digunakan untuk ikan tuna. "Ikan biasanya dipancing saja, kadang bisa dapat hingga 20 ekor," tuturnya.
Memancing ikan tuna kata Arief, cukup hati-hati, apalagi dapat ikan cukup besar. Tali melilit di tangan, kita bisa tercebur ke laut, dan hilang. "Banyak kejadian seperti, tidak bisa ditemukan, dan hilang di laut, syukur saya tiap berlayar bisa pulang dengan selamat," kata Arif.   
Saat berlayar bagi nelayan Mandar, miliki pantangan sendiri. Pantangannya tak boleh mengotori laut. "Cuci panji langsung ke laut tidak bolehkan, sehingga kotoran langsung terbuang, itu juga pantangan," ungkapnya.
Juga mandi saat lautan pantangan juga untuk bertelanjang. "Sebaiknya gunakan pakaian, kita juga tidak boleh telanggan bila mandi, itu juga pantangan," sela Yahya menambahkan.
Yahya juga pernah perahu Sandeq. Dijualnya sejak tahun 2000. Dia beralih ke perahu motor dengan mesin. "Lebih efisien kalau pakai mesin," ungkapnya. 
Sandeq yang bila tak dijual usia sekira 40 tahun. Lebih baik gunakan perahu yang lebih modern, sebab membuat Sandeq juga jangkauanya lebih pendek. Dibanding dengan perahu bermesin. 
Nasib Sandeqnya, kini tiang layarnya telah dipotong, digunakan untuk perahu penambak pasir. "Daripada tidak berfungsi makanya dijual saja, sama-sama berfungsi," tuturnya.
Sandeq juga masih tetap dibuat. Akan tetapi, hanya untuk kepentingan lomba Sandeq Race saja. Jarang yang gunakan sebagai perahu tangkap ikan.
Suadara Yahya, Kalla, dia pembuat perahu Sandeq. Yahya bilang jarang pensanan perahu Sandeq, buatnya perahu biasa saja. "Jika biaya Sandeq, dibuat itu kalau ada lomba, dan untuk biaya Sandeq habiskan puluhan juta kisaran Rp30 juta," tutur Yahya.
Jumlah Sandeq kian berkurang bisa dihitung jari jumlahnya. Di Kecamatan Balanipa Kabupaten Polman, jumlahnya ada 30 buah saja. Usia Sandeq mereka rata-rata usia di atas tiga puluh tahun. 
Menurut, peneliti budaya maritim, Ridwan Alimuddin, usia Sandeq itu batas usianya 30 tahun saja. Jika sudah lapuk, akan berakhir jadi kayu bakar. Masyarakat banyak sudah banyak beralih ke perahu mesin. Ada yang buat tapi untuk lomba saja. Itu pun tak seberapa. "Bisa jadi, jika tak dilestarikan nasib Sandeq berakhir didapur kayu bakar sehingga jadi abu. Bahkan kita temukan ada pakai dinding rumah, maupun ranjang," urai penulis buku Sandeq Perahu Tercepat Nusantara ini. 
Padahal Sandeq, ini cerminan pelaut Mandar. Perahu Sandeq miliki nilai historis, maupun religi bagi masyarakat Mandar. Tubuh Sandeq yang ramping bisa menaklukkan perairan mana saja. "Berbeda dengan Makassar, dan Bone, banyak diperairan dangkal, sedangkan pelaut Mandar langsung berhadapan dengan laut dalam di Teluk Mandar," katanya. 
Ridwan berharap jalan melestarikan Sandeq ini, bisa saja pemerintah memberikan perbaikan ekonomi bagi mereka yang gunakan perahu Sandeq. "Anaknya misalnya diberi beasiswa, jadi orang tua ada perbaikan ekonomi. Pasti akan lestarikan Sandeq itu, dan tetap gunakan perahu Sandeq," ungkapnya. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Musik Tradisi "Passayang-sayang" dari Mandar

MUSIK TRADISI. Pemain Pasayang- sayang  diacara peresmian Pusat Kajian Kebudayaan di Universitas Sulawesi Barat, Rabu 29 April. Musik tradisi ini telah tercatat sebagai warisan budaya tak benda di Indonesia . Tahan Tuturkan Kisah "Siamasei" Berjam-jam   Musik tradisional passayang-sayang dimainkan sebagai hiburan rakyat. Berisi ungkapan hati dan pemain passayang-sayang ini pun miliki cara agar penonton tahan berjam-jam lamanya. ILHAM WASI Majene Ketika gitar dipetik, melodi mengalir merdu. Petikan melodi Dahlan pun membui penonton. Irama melodi dipadukan dengan gitar bas yang dimainkan Abd Hamid. Giliran Zakaria dan Sinar melantunkan lirik lagu passayang-payang bergantian. Keduanya, masyarakat Mandar menyebutnya sebagai pakelong (penyanyi).  Mereka semua masih dalam satu grup musik tradisional dari Tiga Ria Tinambun yang berasal di Kecamatan Tinambung Polman. Tugas mereka sebagai orang-orang pelestari seni musik tradisional passayang- sayang  Ma

Kisah di Balik Nama Pasangkayu, dari Tutur Suku Kaili: Vova Sanggayu

Pemkab Mamuju Utara sedang mengupayakan perubahan nama menjadi Kabupaten Pasangkayu. Lalu, dari mana asal nama itu? ILHAM WASI Pasangkayu diyakini sebagai tempat pohon Vova Sanggayu/ist IBU kota Mamuju Utara (Matra) adalah Pasangkayu. Itulah yang diusulkan menjadi nama kabupaten. Agar ada yang khas, tidak lagi dianggap mirip dengan Mamuju, ibu kota provinsi Sulawesi Barat. Nama Pasangkayu punya kisah. Konon diambil dari nama sebuah pohon besar. Cerita yang sudah melegenda. Penulis buku Tapak-tapak Perjuangan Berdirinya Mamuju Utara , Bustan Basir Maras menjelaskan, selama dirinya melakukan risetnya, memang muncul beberapa versi. Namun, dia menemukan bila setidaknya 70 persen tokoh masyarakat di Matra mengakui Pasangkayu berasal dari kata “Vova” dan “Sanggayu”. Masyarakat meyakini pohonnya tumbuh   di Tanjung Pasangkayu, Kecamatan Pasangkayu, Matra. “Masih tampak kok bakau-bakaunya di sana. Tetapi vova sanggayu sudah tidak ada,” paparnya, Kamis, 23 Maret. Vova

Jejak Imam Lapeo, KH Muhammad Thahir (1)

Makam Imam Lapeo, di Mandar    Imam Lapeo, KH Muhammad Thahir Tak Pernah Putus dari Peziarah Di masjid Imam Lapeo atau dikenal masjid Nurut Taubah Lapeo. Letak masjidnya berada di Desa Lapeo Kecamatan Campalagian Kabupaten Polewali Mandar. Tak sulit mendapati masjid itu sebab berada di pinggir jalan Poros Polman-Majene, Sulbar. ILHAM WASI Campalagian Usai salat Dhuhur di masjid Imam Lapeo, Rabu 17 Juni. Saya tak langsung pulang, sebab ingin tahu banyak soal masjid tertua di tanah Mandar ini. Di Lapeo ini juga telah ditetapkan kawasan wisata religi. Empat orang sedang melingkar. Saya menyapanya, mereka para pengurus masjid imam Lapeo. Saat ditanyai soal kisah Imam Lapeo, seorang menunjuk papan informasi letaknya di sebelah kanan saf paling depan.  "Kisah Imam Lapeo ada di sana." kata salah satu pengurus Sumardin Kama menunjukkannya pada saya. Di situlah berisi riwayat singkat perjalanan hidup KH Muhammad Thahir Imam Lapeo (1839- 1952). "Sengaja pen