Langsung ke konten utama

Postingan

Sastrawan Gol A Gong Menebar Kantong-kantong Literasi

Penulis buku yang juga penggiat literasi, Gol A Gong berbincang literasi dan proses kreatif di Lantai 3 Gedung Graha Pena Mamuju, Sabtu, 22 Oktober.  Bincang literasi itu diadakan Forum Lingkar Pena (PLP) Sulbar. Penulis yang memiliki nama asli, Heri Hendrayana Harris berbagi kepada peserta diskusi terdiri dari guru dan penggiat literasi. Ia melihat melatih kepekaan  terhadap dunia kepenulisan serta sastra yang harus diciptakan. Misalnya di sekolah, rumah, harus mencipatkan atmosfer literasi.  Literasi menulis dan membaca yang tak bisa dipisahkan. Makanya ketika hendak memberikan pemahanan kepada siswa di sekolah, maka patut disampaikan membaca, menulis itu adalah perintah Allah. Sesuai dengan ayat alquraan yang pertama diturunkan Allah adalah "Iqra'" yang berarti, "bacalah".  "Sekalian saja disampaikan sampaikan jika membaca dan menulis itu perintah Allah. Itu kan ada dalam ayat pertama," ujar pria yang bersama Agus M Irkham menulis buku
Postingan terbaru

Situs-situs Purbakala Terancam Hilang

Situs cagar budaya mesti dijaga, bila tak dijaga situs-situs yang bisa menyumbang ilmu pengetahuan prasejarah tersebut bisa hilang begitu saja.   Pasca pengalian Tim Balai Arkeologi Makassar di Situs Sakkarra Dusun Talondo Desa Bonehau Kecamatan Bonehau Kabupaten Mamuju Sulawesi Barat bulan Agustus ini menemukan artefak logam. Situs tersebut harus segera dilindungi.  Artefak yang menunjukan awal leluhur Sulawesi sudah lebih dulu mengenal awal peleburan logam dari zaman neolitik (zaman batu). FAJAR menelusuri lokasi situs tersebut di Kecamatan Bonehau. Untuk perjalanan ke lokasi situs bila dari Kota Mamuju jaraknya sekira 70 kilometer. Namun, sepanjang jalan poros Kecamatan Bonehau- Kalumpang  jalan rusak parah, juga menanjak. Sehingga, waktu tempuh sejatinya hanya dua jam bisa hingga empat jam.  Keberadaan situs tersebut sudah diketahui warga sekitar, saya dipandu staf Desa Bonehau, Wempi Tamandalan.  Dia menujukan lokasi situs Sakkarra jaraknya 1 kilometer dar

Cinta Minke kepada Annelies

Cinta itu seperti Minke yang berani mencium Annelies tanpa permisi. Cinta itu seperti Annelies yang memikirkan ciuman Minke di pipinya. Cinta itu seperti Minke melawan rasa takut karena ulahnya. Cinta betul Minke pada Annelies yang berani menemui Nyai Ontosoroh ibunya. Dan cintaku akan benar jika aku menemui ibumu. Bukan begitu?

Membaca Gulat di Jakarta karya Pramoedya

Baru kali ini kembali memilih bacaan di rak buku. Jatuhlah pilihan pada "Mencari Rumah Pram", tetapi belum sampai setengah saya membacanya. Jedah dulu sementara. Yah, pilihan mencari kedua. "Gulat di Jakarta" novel Pram. Tebal hanya 82 halaman. Kisah tentang Sulaiman meninggalkan kampung halaman menuju Jakarta. Tak ada pilihan lain selain meninggalkan desanya, masifnya gerombolan masa itu telah merebut rumahnya. Termasuk dua anaknya mati tertembus peluru. Pilihannya ke kota, mencari pekerjaan dan hidup lebih baik. Istri dan satu anaknya turut dibawa serta. Pergulatan hidup di Jakarta, membuatnya bertaruh. Bekerja, bekerja, dan bekerja. Meski keahlian hanya mampu baca dan menulis, bekal dari desa sebab dia pernah bekerja sebagai carik di kantor desa itu, tak menyurutkan niatnya mencari pekerjaan demi keluarganya. Ia pun menjadi buruh di sebuah bengkel. Lama kelamaan dia bertambah ahli, bengkel tempat bekerja berkembang pesat karena sumbangsihnya. Hingga dia m

Alat Perekam

Semua tentu tahu fungsi alat perekam. Yah, alat bantu untuk merekam suara dan bunyi. Dokumentasi dan data. Saya kerap memakainya sebagai alat bantu kerja-kerja jurnalistik. Tapi, kekasih saya tiba2 saja meminta dicarikan alat perekam. Permintaan sebenarnya biasa-biasa saja kemudian membuatnya aneh. "Buat apa?" Dijawabnya, alat perekam itu untuk mendengar suara dinding. Dia ingin merekam suara di dinding itu dengan rahasia. Duh, ada apa? Sebuah permintaan membuat saya cukup berpikir. Ada suara di dinding itu? Apakah benar ada suara? Untuk apa bercakap dengan dinding? Dia tak bekerja seperti saya. Apa yang ingin didengarnya, apakah suara print? Suara yang begitu akrab dengannya tiap hari. Atau percakapan apa yang ingin dia dengar setelah meninggalkan empat dinding ruangannya itu? Entah, katanya, bercakap dengan dinding adalah sebuah metafora. "Saya ingin mendengarkan suara apa yang muncul setelah saya meninggalkan ruangan ini". Suara yang datang dari manu

Kisah di Balik Nama Pasangkayu, dari Tutur Suku Kaili: Vova Sanggayu

Pemkab Mamuju Utara sedang mengupayakan perubahan nama menjadi Kabupaten Pasangkayu. Lalu, dari mana asal nama itu? ILHAM WASI Pasangkayu diyakini sebagai tempat pohon Vova Sanggayu/ist IBU kota Mamuju Utara (Matra) adalah Pasangkayu. Itulah yang diusulkan menjadi nama kabupaten. Agar ada yang khas, tidak lagi dianggap mirip dengan Mamuju, ibu kota provinsi Sulawesi Barat. Nama Pasangkayu punya kisah. Konon diambil dari nama sebuah pohon besar. Cerita yang sudah melegenda. Penulis buku Tapak-tapak Perjuangan Berdirinya Mamuju Utara , Bustan Basir Maras menjelaskan, selama dirinya melakukan risetnya, memang muncul beberapa versi. Namun, dia menemukan bila setidaknya 70 persen tokoh masyarakat di Matra mengakui Pasangkayu berasal dari kata “Vova” dan “Sanggayu”. Masyarakat meyakini pohonnya tumbuh   di Tanjung Pasangkayu, Kecamatan Pasangkayu, Matra. “Masih tampak kok bakau-bakaunya di sana. Tetapi vova sanggayu sudah tidak ada,” paparnya, Kamis, 23 Maret. Vova

Sekomandi: Warna Merah dari Cabai, Hitam karena Direndam Lumpur

Tradisi Tenun Ikat dari Kalumpang sekomandi tonoling/dok ilham Masyarakat Kalumpang di Mamuju punya tradisi tenun yang masih dilestarikan. Sekomandi namanya. ILHAM WASI Mamuju KALUMPANG itu sebuah kecamatan. Dari pusat Kalumpang ke Desa Karataung –tempat pengembangan sekomandi, jaraknya 17 kilometer. Jalanan rusak berat. Sungai-sungai kecil akan dilewati. Sebelum Karataung, saya mesti melewati Desa Kondobulo. Penenun sekomandi juga bisa bisa ditemui di situ. Bertanya ke penduduk, saya ditujukan ke rumah Megawati. Perempuan 40 tahun yang pagi itu sedang beristrihat, maklum hari libur, Minggu, 27 Maret lalu. Akan tetapi, Megawati tetap menyambut hangat.  Megawati mengambil tenunnya. Diikatnya pada jendela. Dia pun memasang alat tenun dengan jepit perut dan pinggangnya. Kedua tangannya mulai memaikan benang dan balida perekat benang hingga menghasilkan bunyi tak-tak-tak. Satu benang dirapatkannya. Begitulah dia terus mengulangnya hingga nanti tenun sepanjang 5 mete