Tak semua bisa memainkan kecapi Mandar. Namun bagi Tajriani Thalib memainkan kecapi Mandar adalah tantangan. Kecapi Mandar salah satu musik tradisional di Tanah Mandar. Kecapi hampir terancam punah bila tak dilestarikan segera, sebab pemain untuk kaum perempuan sudah berusia lanjut.
Ukuran kecapi Mandar lebih besar kecapi bugis. Petikan dan nadanya pun beda. "Beda dari ukuran. Itu jelas sekali. Nadanya juga. Kalau kecapi bugis solmisasinya jelas. Do tendah sampai Do tinggi ada. Kalau kecapi mandar tidak," ungkap Tajriani.
Itulah yang menggerakkan Tajriani Thalib, gadis Mandar yang kini menempuh pendidikan di Jurusan Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Negeri Makassar (UNM) terus belajar kecapi. Terakhir, Tajriani mementaskannya pada 29 Januari 2017, saat debat terakhir Pemilihan Gubernur Sulbar 2017 di Mamuju.
Mahasiswa UNM angkatan 2012 ini mengaku mulai tertarik pada kecapi Mandar pada tahun 2011. Di pentas komunitas teater flamboyant di Desa Pambusuang Kecamatan Balanipa Polman "Acara di Pambusuang itu memang pementasan pakkacaping, yang merupakan pengkajian tugas akhir seorang teman dari jurusan Seni," ujarnya.
Disitulah Tajriani bertemu dengan pakkacaping tobaine (pemain kecapi perempuan). "Saya sudah tidak ingat, yang ketemu saya itu Amma' Satuni atau Amma' Marayama," ungkapnya.
Keduanya adalah maestro kecapi Mandar berusia lanjut. Lalu diperbincangan itu terungkap bila tak banyak lagi belajar kecapi Mandar. "Kami ngobrol-ngobrol dan beliau sempat mengutarakan bahwa tidak ada lagi yang belajar kesenian tradisional ini. Waktu itu saya hanya mendengarkan dan belum ada niat belajar," ujarnya.
Niatnya makin mengebu pada akhir tahun 2014, Tajriani mengikuti seleksi Pertukaran Pemuda Antar Negara di Mamuju. Di seleksi itu, peserta harus memiliki kemampuan di bidang seni tradisional yang akan di pentaskan. "Jadi saya akhirnya mencari-cari apa yang bisa saya pelajari lalu saya ingat kecapi Mandar," ungkapnya.
Saat itulan, Tajriani harus bolak-balik dari kediamannya di Desa Lekopadis Kecamatan Tinambung Kabupaten Polman ke rumah maestro kecapi di Desa Renggeang Kecamatan Limboro Kabupaten Polman untuk belajar.
"Saya pertama kali belajar di rumah Amma Satuni atau Marayama. Sebenarnya saya mau intens belajar ke pakkacaping tobaine," ungkapnya.
Akan tetapi, karena jarak lokasi ke rumah mereka terlalu jauh. Akhirnya Tajriani lebih intens ke pakkacaping tommuane (pemain kecapi laki-laki) yaitu a'bah Fatima di Batulaya. "Makanya, Saya ke rumah amma Satuni kalau ada waktu luang misalnya pada saat waktu libur semester," ungkapnya.
Tajriani banyak bercerita soal Pakkacaping Tobaine, Maestro kecapi dari Mandar itu. Kedua bersaudara. Amma Marayama adalah kakak dari Amma' Satuni. Usianya sudah di atas 80 tahun.
"Kalau Amma' Satuni masih bisa pentas bila diundang. Alhamdulillah masih lebih mampu dibandingkan amma Marayama. Karena naik mobil masih sanggup. Naik pesawat ke Kutai waktu mentas di Erau juga masih bisa," ungkap Tajriani.
Meskipun demikian, Tajriani sudah terlancur ingin mendalami alat musik tradisional itu. Sehingga, setiap ada waktu disempatkannya untuk belajar kecapi. Ditambah lagi, kecapi Mandar bila tak dilestarikan bisa ditelan waktu lalu punah.
"Saya mau melestarikan karena mungkin ini sedikit lebay atau apalah menurut pembaca, tapi kesenian tradisional seperti ini kalau sampai punah kan sangat disayangkan. Saya menganggap mungkin inilah salah satu kontribusi yang bisa saya lakukan dan berikan untuk suku saya," ungkapnya.
Sejumlah pementasan dilakoninya yakni di Makassar, acara silaturrahmi mahasiswa dari Mandar di Makassar, TVRI Sulsel program acara Tirai Budaya, Seleksi Pertukaran Pemuda Antar Negara.
Kemudian acara Erau International Folk and Art Festival Kutai, yang di hadiri oleh 15 Negara bersama Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Polman dan terakhir Debat Kandidat Calon Gubernur Sulbar.
Kini Tajriani tak ingin berhenti belajar. Dia bisa memainkan kecapi mengikuti iramanya. Saat diminta salah satu liriknya, Tajriani pun bersedia. "Pabanua tattanga awaya rapang nurung mi'atalle di banua. Yanasang inggana hader, upalambi upauangang datia dialesei pau tongang malimbong, inggae ditunggai jamangang pamarentata. Dirondoi mappajari kappung mapaccing banua masarri kasturi.
Artinya, Rakyat menanti cahaya seperti cahaya dari langit yang jatuh ke bumi. Semua yang hadir, saya sampaikan, saya katakan janganlah kiranya meninggalkan dalamnya kejujuran, mari (sengaja) mendukung kesungguhan (kerja) pemerintah. Menemaninya mewujudkan negeri yang indah lagi semerbak seperti kesturi).
Lalu bagaimana Tajriani memainkan iramanya?. Dia bilang sebelum menutup percakapan jika dirinya hanya mengikuti cara sang Maestro memetik kecapi. "Saya cuma ikut bagaimana cara para Maestro memainkannya. Dan belakangan saya sedang dapat cara main saya sendiri. Yang nyaman saya mainkan," paparnya Perempuan kelahiran 24 Mei 1994. (Ilham Wasi)
7 Maret 2017
Komentar
Posting Komentar