Langsung ke konten utama

Liem Keng Young, Terjemahkan 2.000 Jilid Karya Cina ke Aksara Lontara

(Jejak Peranakan Tionghoa-Makassar) 

Peranakan Tionghoa di era 30-an  telah menunjukkan pemahanan kebudayaan Makassar telah ada. Tulisan Lontara berbahasa Makassar ditulis oleh Liem Keng Young jadi saksinya.

ILHAM WASI
Makassar

Rapat final check pertemuan Peranakan Tionghoa-Makassar di Hotel Horison, Selasa 24 Maret, kemarin tergolong unik. Mereka menggunakan bahasa Makassar dalam dialog-dialog dipertemuan itu. 
Dipertemuan itu pula Ketua Panitia Peranakan Tionghoa-Makassar, Arwan Tjahyadi memperlihatkan buku. Buku yang ditulis menggunakan aksara Lontara. Bukunya masih utuh, tetapi menua dimakan usia. Kertasnya berwarna cokelat tanah, terikat benang pada bukaannya. Pada cover buku tersebut tertera angka "4" menunjukkan jilidnya,  judulnya "Kwan Im Hu Tjio" (ditulis dalam aksara Lontara), dan ada juga tulisan aksara Cina, aku tak bisa membacanya, Arwan demikian. 
"Baru seminggu ini buku saya ambil, dari cucu Liem Keng Young," kata Arwan singkat. 
Arwan menerangkan soal buku itu, jika ingin dibaca, cara bukanya dari kanan, sebab mengikuti penulisan Cina. Bertanya soal buku itu Arwan tak tahu pasti cara membacanya. Ditahunya kalau buku tersebut karya Liem Keng Young, seorang peranakan Tionghoa.
Dia hanya menunjukkan tahun tulis buku aksara lontara itu. Di tunjukkanya bagian akhir pada buku itu "16-11-1929". 
"Ada beberapa karya yang bisa dimiliki oleh orang Tionghoa." Aku menyimak penjelasannya. Dia pun menyebut beberapa nama yang diketahuinya, antara lain Ho Eng Dji, penulis syair bahasa Makassar, dan pantun Makassar Melayu yang ditulis Ang Bang Tjiong. 
Nama-nama yang disebut oleh Arwan, membuatku untuk fokus pada satu nama Liem Keng Young. 
Pemerhati budaya Tionghoa, Shaifuddin Bahrum, ditemui terpisah bilang tidak diketahui pasti sejak kapan Liem Keng Young, mulai menerjemahkan tetapi data naskah tertua yang pada era tahun 1928 dan terakhir tahun 1936. 
Menyangkut soal buku "Kwan Im Hu Tjio" yang ada pada Arwan, Shaifuddin bilang jika buku itu ada lima jilid. Karya yang berkisah soal "Kelahiran Guanyim". 
"Kalau ingin menerjemahkan, butuh waktu lama sebab mesti diterjemahkan secara cermat," ungkapnya.
Akan tetapi, karya Liem Keng Young ada ribuan. "Liem Keng Young telah menerjemahkan karya kurang lebih 2.000 jilid dengan tidak kurang 60 judul cerita," katanya saat ditemui diperpustakaan Multi Etnik Kajian Tionghoa Makassar miliknya, di Jalan RS Faisal IX Nomor 10, Jumat 27 Maret.
Kelahiran Liem Keng Young juga tak diketahui secara pasti, hanya tahun kelahirannya yakni pada tahun 1875. Dia berasal dari Propinsi (distrik) Totok (Changtai), Fujian bagian Selatan. 
 Shaifuddin menyebut Liem Keng Yong ini perna tinggal di Jalan Sulawesi atau Jalan Pintu Dua. Orang tuanya, seorang pedagang yang membuka toko dan berjualan piring (barang pecah belah) di rumahnya. "Dia ini, Liem Kheng Young tidak berminat berdagangan, kecuali hanya membaca, menulis, dan menerjemahkan," katanya.
Di saat orang tuanya meninggal, Liem Kheng Young pindah ke kampung Melayu. "Dia tetap fokus menerjemahkan," ujar  Shaifuddin.
Karya yang diterjemahkan berisi cerita  karya sastra klasik Cina. "Ceritanya inilah yang ditulis ke dalam aksara Lontara, berbahasa Makassar, sebab banyak kalangan peranakan Tionghoa-Makassar, yang ingin membaca buku-buku yang diterjamahkannya," ucap Shaifuddin.
Karya terjemahannya pun makin lama kian digemari, utamanya dikalangan perempuan peranakan Tionghoa-Makassar. "Jadilah sumber kehidupannya sebagai lahan mata pencaharian. Akan tetapi Ia tak menjual buku terjemahannya, melainkan dipersewakan. Pembacanya tak hanya peranakan Tionghoa, tapi dibaca juga oleh masyarakat secara umum, " tutur Shaifuddin.
Kekayaan pengetahaun yang dimiliki oleh Liem memang mampu menerjemahkan ratusan karya. "Dia menulis menggunakan kuas tulis atau pit (pena khas Cina)," ujar Shaifuddin.
Uniknya pada penulisannya dilakukan oleh Liem ini, menggunakan aksara penambahan aksara Cina. "Dia menuliskan atau menambahkan aksara cina untuk nama tokoh. Alasannya, soal penulisan nama Tionghoa, agar tidak keliru," tutur Shaifuddin.
Tulisan dari Liem Keng Young ini masih disimpan oleh keluarga Liem Kheng Young. "Meski tak lagi bisa menikmatinya, utamanya bagi masyarakat Tionghoa utamanya generasi muda, sebab tak bisa baca Lontara, tetapi tulisannya membuktikan keakraban kita pada mereka," katanya.
Hal ini juga menunjukkan orang-orang Tionghoa telah hidup kawin-mawin di Makassar. "Penguasaan bahasa Makassar tidak sebatas pada bahasa sehari-sehari, mereka mampu menggunakannya dalam tulisan-tulisan sastra baik prosa maupun sajak," ucap Shaifuddin.
Selain itu, Kepala Bidang Pembinaan dan Pengembangan Layanan Informasi Kearsipan BPAD Sulsel, Ahmad Saransi, saat ditemui juga membenarkan jika keunikan dari naskah-naskah Lontara yang ditulis oleh peranakan Tionghoa. "Ada gaya penulisannya tersebut, sebab menggunakan dwibahasa, atau menulis ada penambahan aksara Cina," ujarnya. (*)

BACA HARIAN FAJAR, 25 Maret 2015

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Musik Tradisi "Passayang-sayang" dari Mandar

MUSIK TRADISI. Pemain Pasayang- sayang  diacara peresmian Pusat Kajian Kebudayaan di Universitas Sulawesi Barat, Rabu 29 April. Musik tradisi ini telah tercatat sebagai warisan budaya tak benda di Indonesia . Tahan Tuturkan Kisah "Siamasei" Berjam-jam   Musik tradisional passayang-sayang dimainkan sebagai hiburan rakyat. Berisi ungkapan hati dan pemain passayang-sayang ini pun miliki cara agar penonton tahan berjam-jam lamanya. ILHAM WASI Majene Ketika gitar dipetik, melodi mengalir merdu. Petikan melodi Dahlan pun membui penonton. Irama melodi dipadukan dengan gitar bas yang dimainkan Abd Hamid. Giliran Zakaria dan Sinar melantunkan lirik lagu passayang-payang bergantian. Keduanya, masyarakat Mandar menyebutnya sebagai pakelong (penyanyi).  Mereka semua masih dalam satu grup musik tradisional dari Tiga Ria Tinambun yang berasal di Kecamatan Tinambung Polman. Tugas mereka sebagai orang-orang pelestari seni musik tradisional passayang- sayang  Ma

Kisah di Balik Nama Pasangkayu, dari Tutur Suku Kaili: Vova Sanggayu

Pemkab Mamuju Utara sedang mengupayakan perubahan nama menjadi Kabupaten Pasangkayu. Lalu, dari mana asal nama itu? ILHAM WASI Pasangkayu diyakini sebagai tempat pohon Vova Sanggayu/ist IBU kota Mamuju Utara (Matra) adalah Pasangkayu. Itulah yang diusulkan menjadi nama kabupaten. Agar ada yang khas, tidak lagi dianggap mirip dengan Mamuju, ibu kota provinsi Sulawesi Barat. Nama Pasangkayu punya kisah. Konon diambil dari nama sebuah pohon besar. Cerita yang sudah melegenda. Penulis buku Tapak-tapak Perjuangan Berdirinya Mamuju Utara , Bustan Basir Maras menjelaskan, selama dirinya melakukan risetnya, memang muncul beberapa versi. Namun, dia menemukan bila setidaknya 70 persen tokoh masyarakat di Matra mengakui Pasangkayu berasal dari kata “Vova” dan “Sanggayu”. Masyarakat meyakini pohonnya tumbuh   di Tanjung Pasangkayu, Kecamatan Pasangkayu, Matra. “Masih tampak kok bakau-bakaunya di sana. Tetapi vova sanggayu sudah tidak ada,” paparnya, Kamis, 23 Maret. Vova

Jejak Imam Lapeo, KH Muhammad Thahir (1)

Makam Imam Lapeo, di Mandar    Imam Lapeo, KH Muhammad Thahir Tak Pernah Putus dari Peziarah Di masjid Imam Lapeo atau dikenal masjid Nurut Taubah Lapeo. Letak masjidnya berada di Desa Lapeo Kecamatan Campalagian Kabupaten Polewali Mandar. Tak sulit mendapati masjid itu sebab berada di pinggir jalan Poros Polman-Majene, Sulbar. ILHAM WASI Campalagian Usai salat Dhuhur di masjid Imam Lapeo, Rabu 17 Juni. Saya tak langsung pulang, sebab ingin tahu banyak soal masjid tertua di tanah Mandar ini. Di Lapeo ini juga telah ditetapkan kawasan wisata religi. Empat orang sedang melingkar. Saya menyapanya, mereka para pengurus masjid imam Lapeo. Saat ditanyai soal kisah Imam Lapeo, seorang menunjuk papan informasi letaknya di sebelah kanan saf paling depan.  "Kisah Imam Lapeo ada di sana." kata salah satu pengurus Sumardin Kama menunjukkannya pada saya. Di situlah berisi riwayat singkat perjalanan hidup KH Muhammad Thahir Imam Lapeo (1839- 1952). "Sengaja pen