Save Sastra dan Sastrawan!
Polemik yang terjadi berujung dipolisikannnya Saut Situmorang, mengundang simpati dikalangan penyair, sastrawan, budayawan, jurnalis, serta penikmat sastra. Aku pun demikian, memilih untuk tidak diam. Save Sastra dan Sastrawan!
SASTRA ILO
(ilosastra@yahoo.co.id)
Kamis, 26 Maret 2015. Kabar dari datang seorang kawan, mengabari perihal, si lelaki berambut gimbal dijemput paksa, oleh tiga anggota petugas kepolisian Resor Jakarta Timur. Baik media massa dan media sosial pun ramai membicarakannya. Kabarnya, Sigimbal dijemput paksa dikediamannya di Danunegaran, Mantrijeron, Yogyakarta. Dia harus dijemput sebagai saksi dalam tuduhan pencemaran nama baik Fatin Hamama (penyair asal Jakarta).
Aku yakin, Sigimbal berbadan tambung ini, tak pernah bergetar sedikit pun ketika hendak ditangkap. Dia Sigimbal adalah Saut Situmorang. Aku kenal sebagai penyair dan sastrawan asal Yogyakarta, tajam dalam kritiknya dan lantang bersuara jika bicara soal sastra.
Saut berkomentar “Jangan berdamai dengan bajingan" di dinding group facebook, saat terjadi perdebatan diskusi sastra dengan Fatin Hamama. Makanya Saut, dilaporkan dalam tuduhan pencemaran baik dianggap melanggar UU ITE oleh Fatin. Lantas, aku tercengang dengan kasus tersebut, kata yang dianggap lumrah dalam perdebatan sastra yang tak mesti dipolisikan, sebab kritik adalah kritik.
Aku ambil telepon genggam, lalu mengutak-atik nomor ponsel. Aku temukan satu nama yang bisa diminta pendapat soal itu, Aslan Abidin (penyair asal Makassar). Apa yang mendasari perdebatan itu muncul?.
Jawabnya, kritiknya dia ajukan setahun lalu, sejak terbitnya buku "33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh" yang disusun oleh Tim 8 terdiri dari Jamal D Rahman (Ketua), Acep Zamzam Noor, Agus R Sarjono, Ahmad Gaus, Berthold Damshauser, Joni Ariadinata, Maman S. Mahayana, Nenden Lilis Aisyah. Buku tersebutlah akar permasalahnnya, alasannya ada nama Denny JA (konsultan politik) yang disetarakan dengan nama besar Pramoedya Ananta Toer dan Chairil Anwar serta 30 sastrawan lainnya.
Melekatnya kata "Tokoh Sastra" dan "Paling Berpengaruh" menjadi persoalannya. Abidin menilai, buku tersebut juga tak mempunyai landasan ilmiah dan pengujian soal kevalidatannya. "Tak ada perbandingan atau alasan soal mengapa disebut pengaruh, dan pembeda membuatnya menjadi tokoh berpengaruh," katanya.
Lantas jika tak ada, penjelasan ilmiah soal kata "33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh" ini, dia akan menjadi suatu kebohongan yang terus menerus dalam perjalanan sastra Indonesia. Ribuan bahkan jutaan orang akan terkena dampak dari bacaan yang tak sepantasnya. "Denny JA" tak bisa dikaitkan dengan nama tokoh besar seperti Pramoedya Ananta Toer.
Nama dan karya Pramoedya Ananta Toer, terlalu besar untuk disejajarkan dengannya. Aku pun sepakat dengan petisi yang ramai dikeluarkan oleh Sigimbal (Saut Situmorang, dkk) menyoal "33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh" yang tak seharusnya memasukan nama Denny JA. Buku yang harus diajukan dalam pengadilan sastra, digugat, dikritik sebab pantas.
Ada nama, Kwee Tek Hoay, Marah Roesli, Muhammad Yamin, Hamka, Armijn Pane, Sutan Takdir Alisjahbana, Achdiat Karta Mihardja, Amir Hamzah, Trisno Sumardjo, HB Jassin, Idrus, Mochtar Lubis, Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, Iwan Simatupang, Ajip Rosidi, Taufik Ismail, WS Rendra, NH Dini, Sapardi Djoko Damono, Arief Budiman, Arifin C Noor, Sutardji Calzoum Bachri, Goenawan Mohammad, Putu wijaya, Remy Sylado, Abdul Hadi WM, Emha Ainun Nadjib, Afrizal Malna, Denny JA, Wowok Hesti Prabowo, Ayu Utami, Helvi Tiana Rosa. Di banding "Denny JA" klaim terhadap puisi-puisi esainya, aku lebih memilih puisi "Widji Tukul" yang tak tertera dalam buku itu. (*)
Polemik yang terjadi berujung dipolisikannnya Saut Situmorang, mengundang simpati dikalangan penyair, sastrawan, budayawan, jurnalis, serta penikmat sastra. Aku pun demikian, memilih untuk tidak diam. Save Sastra dan Sastrawan!
SASTRA ILO
(ilosastra@yahoo.co.id)
Kamis, 26 Maret 2015. Kabar dari datang seorang kawan, mengabari perihal, si lelaki berambut gimbal dijemput paksa, oleh tiga anggota petugas kepolisian Resor Jakarta Timur. Baik media massa dan media sosial pun ramai membicarakannya. Kabarnya, Sigimbal dijemput paksa dikediamannya di Danunegaran, Mantrijeron, Yogyakarta. Dia harus dijemput sebagai saksi dalam tuduhan pencemaran nama baik Fatin Hamama (penyair asal Jakarta).
Aku yakin, Sigimbal berbadan tambung ini, tak pernah bergetar sedikit pun ketika hendak ditangkap. Dia Sigimbal adalah Saut Situmorang. Aku kenal sebagai penyair dan sastrawan asal Yogyakarta, tajam dalam kritiknya dan lantang bersuara jika bicara soal sastra.
Saut berkomentar “Jangan berdamai dengan bajingan" di dinding group facebook, saat terjadi perdebatan diskusi sastra dengan Fatin Hamama. Makanya Saut, dilaporkan dalam tuduhan pencemaran baik dianggap melanggar UU ITE oleh Fatin. Lantas, aku tercengang dengan kasus tersebut, kata yang dianggap lumrah dalam perdebatan sastra yang tak mesti dipolisikan, sebab kritik adalah kritik.
Aku ambil telepon genggam, lalu mengutak-atik nomor ponsel. Aku temukan satu nama yang bisa diminta pendapat soal itu, Aslan Abidin (penyair asal Makassar). Apa yang mendasari perdebatan itu muncul?.
Jawabnya, kritiknya dia ajukan setahun lalu, sejak terbitnya buku "33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh" yang disusun oleh Tim 8 terdiri dari Jamal D Rahman (Ketua), Acep Zamzam Noor, Agus R Sarjono, Ahmad Gaus, Berthold Damshauser, Joni Ariadinata, Maman S. Mahayana, Nenden Lilis Aisyah. Buku tersebutlah akar permasalahnnya, alasannya ada nama Denny JA (konsultan politik) yang disetarakan dengan nama besar Pramoedya Ananta Toer dan Chairil Anwar serta 30 sastrawan lainnya.
Melekatnya kata "Tokoh Sastra" dan "Paling Berpengaruh" menjadi persoalannya. Abidin menilai, buku tersebut juga tak mempunyai landasan ilmiah dan pengujian soal kevalidatannya. "Tak ada perbandingan atau alasan soal mengapa disebut pengaruh, dan pembeda membuatnya menjadi tokoh berpengaruh," katanya.
Lantas jika tak ada, penjelasan ilmiah soal kata "33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh" ini, dia akan menjadi suatu kebohongan yang terus menerus dalam perjalanan sastra Indonesia. Ribuan bahkan jutaan orang akan terkena dampak dari bacaan yang tak sepantasnya. "Denny JA" tak bisa dikaitkan dengan nama tokoh besar seperti Pramoedya Ananta Toer.
Nama dan karya Pramoedya Ananta Toer, terlalu besar untuk disejajarkan dengannya. Aku pun sepakat dengan petisi yang ramai dikeluarkan oleh Sigimbal (Saut Situmorang, dkk) menyoal "33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh" yang tak seharusnya memasukan nama Denny JA. Buku yang harus diajukan dalam pengadilan sastra, digugat, dikritik sebab pantas.
Ada nama, Kwee Tek Hoay, Marah Roesli, Muhammad Yamin, Hamka, Armijn Pane, Sutan Takdir Alisjahbana, Achdiat Karta Mihardja, Amir Hamzah, Trisno Sumardjo, HB Jassin, Idrus, Mochtar Lubis, Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, Iwan Simatupang, Ajip Rosidi, Taufik Ismail, WS Rendra, NH Dini, Sapardi Djoko Damono, Arief Budiman, Arifin C Noor, Sutardji Calzoum Bachri, Goenawan Mohammad, Putu wijaya, Remy Sylado, Abdul Hadi WM, Emha Ainun Nadjib, Afrizal Malna, Denny JA, Wowok Hesti Prabowo, Ayu Utami, Helvi Tiana Rosa. Di banding "Denny JA" klaim terhadap puisi-puisi esainya, aku lebih memilih puisi "Widji Tukul" yang tak tertera dalam buku itu. (*)
Komentar
Posting Komentar