Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2012

SAJAK MATA AIR

SAJAK MATA AIR I Pernahkah anda ke taman bidadari? Yang membelahan batuan gamping Ada yang mengatakan, berjuta-juta tahun lalu Daerah ini lautan dangkal yang tersisa hanya batu lebias Terukir kikisan air, lalu surut, jadi daratan. Dan apakah anda pernah mendengar kisah tujuh putri? Yang  turun ketika hujan telah usai Melewati lingkaran bernama pelangi. Mereka singgah di mata air ini. Anda juga pasti tidak mau mendengar atau sama sekali tidak percaya Kalau putri yang katanya bidadari bukanlah tujuh. Tapi, hanya satu ialah kekasih. II Masih maukah  anda mendengar Suara merdu nyanyian burung pada ranting Tempat mereka menetaskan anak-anaknya. Mereka akan marah Jika ranting  tempat bersarang dipatahkan Nyanyian berubah jadi teriakan dan jeritan. III Apakah kita juga tak pernah merasa gelisah? Atau sedikit khawatir kalau tanah tempat kita hidup harus dirampas kita juga pasti akan melakukan hal yang sama seperti burung. Masih adakah yang tersisa untuk anak cuc

Karena Sastra Mengajari Saya Hidup.

Pertanyaan itu kembali diperdengarkan, cukup sederhana pertanyaannya. Kau di sastra Indonesia nanti jadi apa?, pertanyaan ini membuat bingun untuk di jawab. Setelah ini ke mana?. Sastra Indonesia apa jadi guru bahasa Indonesia, pengawai Bank, Pengawai Negeri Sipil, atau apa?. Saya sulit untuk menjawab pertanyaan sederhana itu. setelah ini ke mana?. Memang benar bahwa menempuh dunia pendidikan pengetahuan Sastra terus di pandang sempit hanya sebatas ke mana? Kerja lalu menghasilkan uang. Untuk menggantikan biaya orang tua selama perkuliahan, menabung untuk kebutuhan jika berkeluarga kelak, menyekolahkan anak, memilih sekolah ternama, serta universitas ternama di Indonesia. Kerja, Hidup sentosa untuk jaminan masa depan. Atau bahkan jika menemui jalan buntu. Tak tau ke mana? Memang perlu di pahami untuk keperluan dunia Kapitalisme, adalah mereka yang memiliki keterampilan professional yang mampu bertahan dan menjaga keberlangsungan kapital. Seperti menjaga mesin-mesin, bekerja siang m

SIMPANG JALAN TROTOAR

I di trotoar semua berkumpul sambil menyapa malam. tentang hidup yang butuh sepotong nasi. dari cerita, masa lampau. dari kisah para kaum marjinal yang tinggal dan dibisukan. II di trotoar itu pula, para penjaga malam sedang menanti tamu yang menjambanginya sambil menawarkan jasa bihari pelampiasan tamu yang dikenalnya semalam. tak peduli siapa! . bahkan jika kau sepi datanglah padanya. dan sehabis menyantap sajian malam kau sibuk merapikan bekas kebuasanmu lalu pergi dan melambaikan tangan. terima kasih untuk malam ini terimalah imbalanmu. sambil tersenyum menyembunyikan bekas luka di dadanya. tak terpikir untuk hidup seperti ini. III di trotoar ini juga, hidup dicari dengan berdagang mengharap pembeli serupiah pun berharga dan setiap saat kau datang menghancurkan tenda-tenda tempat kami berteduh. kemudian menitipkan surat "demi keindahan jalan" ... IV DI SIMPANG JALAN ITU KAMI BERKUMPUL DENGAN AMARAH YANG TERBAKAR SAMBIL MENERIAKK

Belum ku Beri nama

di atas kuncup bunga ku titipkan rindu. walau belum sepenuhnya berkembang! tak mungkin layu, di hisap kumbang dan kemarau ... karena waktu yang singkat, mempertemukan kita hanya surat rindu yang sempat aku tuliskan di penyangga bunga yang kusimpan dikeningmu.